News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Kisah Para Ibu Hamil di Gaza: Kebingungan Bagaimana Nanti Melahirkan di Tengah Bombardir Israel

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahli bedah trauma menutupi tubuh seorang wanita hamil yang bayinya diselamatkan setelah operasi caesar darurat, dan yang meninggal setelah pemboman Israel, di rumah sakit Kuwait di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 21 Oktober 2023. Terdapat sekitar 50.000 wanita hamil di Gaza yang kekurangan perawatan, akses ke dokter dan pusat layanan kesehatan yang memadai.

TRIBUNNEWS.COM - Menurut Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNPF), terdapat sekitar 50.000 wanita hamil di Jalur Gaza saat ini.

Sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan karena sistem layanan kesehatan Gaza berada di ambang kehancuran akibat blokade Israel.

Pekan lalu, UNPF menyerukan perawatan kesehatan dan perlindungan mendesak bagi wanita hamil.

Seorang wanita bernama Niveen al-Barbari (33) ketakutan akan keselamatan bayi dalam kandungannya.

Setiap kali Israel melancarkan serangan udara di dekatnya, punggung dan perutnya bergejolak karena ketakutan dan rasa sakit.

Sebelumnya, al-Barbari mengunjungi dokter secara teratur.

Baca juga: Siapa Brigade Al-Qassam, Unit Militer Hamas yang Bertempur Melawan Israel?

Tetapi bombardir Israel mengharuskannya untuk mengungsi dan ia pun kehilangan kontak dengan dokternya.

“Setiap hari, saya bertanya-tanya bagaimana saya akan melahirkan dan di mana," ujarnya kepada Al Jazeera.

"Bom-bom tidak berhenti, tidak ada manusia, pohon atau batu yang dapat menghindar."

"Kami tidak tahu rumah siapa yang akan hancur atau siapa yang akan mati."

"Saya hanya berharap saya dan anak saya selamat.”

Al-Barbari akan melahirkan anak pertamanya bulan ini, satu dari ribuan wanita di Jalur Gaza yang mendekati HPL (hari perkiraan lahir) bayi mereka.

Kelelahan karena Kerap Berpindah-pindah

Bagi Suad Asraf, yang sedang mengandung anak ketiganya selama enam bulan, perpindahannya dari kamp pengungsi Shati di Kota Gaza ke sekolah PBB di kota selatan Khan Younis telah berdampak buruk pada dirinya.

Ia menderita kelelahan yang luar biasa.

“Saya lelah karena kurang tidur dan ketakutan,” kata wanita berusia 29 tahun itu.

Seorang wanita Palestina bereaksi ketika dia tiba di rumah sakit Nasser tempat orang-orang yang terluka dan tewas setelah serangan Israel, di Khan Yunis, di Jalur Gaza selatan pada 26 Oktober 2023. (MOHAMMED ABED / AFP)

Baca juga: Kisah suster Katolik yang menolak tinggalkan Gaza demi merawat korban serangan Israel

“Saya harus menjaga dua anak saya yang lain, tapi sekolah penampungan ini tidak memiliki air jernih."

"Saya terpaksa minum air asin, dan saya tidak tahan, dan itu juga mempengaruhi tekanan kehamilan saya."

Asraf ingin tahu apakah dirinya dan janinnya baik-baik saja, apalagi setelah teror yang dialaminya.

Dia mencoba menghubungi pusat kesehatan PBB di kamp Shati berkali-kali melalui telepon, tetapi tidak berhasil tersambung satu kali pun.

Tidak ada nutrisi atau perawatan yang tepat untuknya, akibatnya dia selalu merasa lelah dan mual.

Sekolah sangat penuh sesak dan bising, dan dia tidak bisa memejamkan mata lebih dari 30 menit.

“Di sini juga ada tiga ibu hamil, dan kondisinya mirip dengan saya,” kata Asraf.

“Dua hari lalu, salah satu dari mereka kehilangan kesadaran, dan kami mencoba membantunya.”

Khawatir Keguguran

Beberapa wanita yang hamil melalui program bayi tabung, khawatir akan keguguran.

Seorang wanita berdiri di sebuah rumah yang rusak parah menyusul pemboman Israel di Rafah di selatan Jalur Gaza pada 19 Oktober 2023. (Mohammed ABED / AFP)

Baca juga: Al Jazeera Kutuk Serangan Israel yang Tewaskan Keluarga Jurnalis

Laila Baraka (30) berhasil hamil dengan bayi tabung setelah bertahun-tahun mencoba untuk memiliki anak kedua.

“Sepanjang hari, saya takut dengan suara bom, dan pada malam hari, suaranya semakin intens dan menakutkan,” katanya.

“Saya memeluk putra saya yang berusia lima tahun erat-erat sambil mencoba menelan rasa takut saya, namun saya tidak bisa."

"Apa yang kami dengar bahkan membuat batu ketakutan, bukan hanya manusia.”

Baraka, yang berasal dari Bani Suhaila, sebuah kota di sebelah timur Khan Younis, pindah ke pusat kota yang lebih besar karena berpikir akan lebih aman.

Namun pusat kesehatan yang dia kunjungi sebelumnya tidak menanggapi panggilannya setelah penduduk di wilayah timur dekat pagar perbatasan Israel semuanya telah melarikan diri.

“Bahkan dokter saya telah diusir dari rumahnya dan sangat sulit berkomunikasi dengannya,” katanya.

“Saya beruntung ibu saya selalu berada di sisi saya dan berusaha dengan caranya sendiri untuk membuat saya merasa tenang dan mengurangi stres.”

Namun hal itu tidak berhasil bagi Baraka, yang merasa lelah karena berduka atas foto dan video kematian anak-anak yang diberitakan.

Lebih dari 6.500 warga Palestina telah tewas dalam serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober, dua pertiga dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.

“Bisakah Anda bayangkan seperti ini nasib anak-anak kita?” ujar Baraka.

“Apa yang dialami para ibu di Gaza tidak pernah bisa dijelaskan.”

Kurangnya Perawatan dan Akses ke Fasilitas Kesehatan

Hancurnya jalan-jalan utama di Jalur Gaza membuat waktu yang dibutuhkan wanita hamil untuk mencapai beberapa rumah sakit menjadi lebih lama.

Perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa menit dengan mobil kini dapat memakan waktu berjam-jam, sehingga membahayakan kesehatan para ibu hamil.

“Suatu operasi dilakukan pada seorang wanita yang akan melahirkan dan mengalami pendarahan hebat,” kata Walid Abu Hatab, konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex di Khan Younis.

“Dia berada di jalan selama dua jam untuk mencoba mencapai Kompleks Medis Nasser."

"Setelah beberapa kali mencoba, kami berhasil mengendalikan pendarahan dan menyelamatkan nyawanya.”

Israel terus-menerus mengancam akan menargetkan rumah sakit dan berulang kali meminta staf rumah sakit dan puluhan ribu pengungsi Palestina yang mengungsi di fasilitas medis untuk pindah.

Staf medis menolak melakukan hal tersebut, dengan alasan tidak mungkinnya memindahkan pasien mereka.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini