TRIBUNNEWS.COM - Penduduk Jajarkot di Nepal, terpaksa tidur di jalanan atau di kamp pengungsi sejak gempa bumi M 6,4 melanda pada hari Jumat (3/11/2023), lalu.
Ketakutan akan gempa susulan membuat warga belum berani masuk ke rumah.
Ketika mereka bersiap untuk kembali ke rumah pada Senin (8/11/2023), gempa kembali terjadi, kali ini dengan magnitudo 5,6, Indian Express melaporkan.
Jalan-jalan di Jajarkot masih dipenuhi puing-puing akibat gempa Jumat malam, yang menewaskan 153 orang, dan melukai 250 orang.
Pada hari Senin, pihak berwenang merevisi jumlah korban dari 157 menjadi 153 dengan alasan duplikasi beberapa nama.
Beberapa rumah, sebagian besar milik masyarakat miskin dan dibangun dengan bebatuan dan lumpur, hancur total.
Baca juga: Gempa M 5,6 Guncang Nepal, Terasa hingga New Delhi, Tewaskan Lebih dari 130 Orang
Sementara itu beberapa rumah yang lebih besar dan kuat, masih berdiri tetapi dengan beberapa retakan yang terlihat di dinding.
Pada Senin malam, beberapa jam setelah gempa terakhir terjadi pada pukul 16.30, para penghuni rumah, baik yang hancur maupun yang masih utuh, berkerumun di kamp pengungsian yang dibangun di sebuah taman bermain, berebut kasur.
Tidak ada seorang pun yang berani tidur di dalam rumah karena takut akan terjadi gempa susulan lagi.
Mereka terpaksa bermalam di tenda yang didirikan oleh pihak berwenang.
Di antara mereka yang berada di kamp tersebut adalah Subarna KC, 19 tahun.
Ia berasal dari keluarga bisnis berpengaruh di daerah tersebut.
Duduk bersama saudara perempuannya di taman bermain, Subarna KC berkata:
“Rumah kami memiliki tujuh kamar, tapi malam ini kami berbagi ruang ini dengan semua orang di sini."
"Gempa pada Jumat malam tidak berdampak pada rumah kami, namun gempa hari ini (Senin) mengakibatkan rumah kami retak.
"Jadi, orang tuaku menyarankan yang lebih muda untuk tidur di sini malam ini.”
Baca juga: Gempa M 6,4 Guncang Nepal, 128 Orang Tewas
Subarna adalah seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta di Kathmandu.
Dia dan adiknya, Isha, bersiap untuk bermalam di salah satu dari sekian banyak tenda yang terbuat dari terpal.
Sebagian besar orang menggunakan sprei busa.
Ada sekitar 40 orang lainnya yang berada satu tenda dengan Subarna.
Di tenda yang sama terdapat keluarga Badra Bahadur Oli, 48 tahun, seorang petani kecil.
Oli ada di sana bersama keempat anaknya, berusia antara 10 bulan hingga 15 tahun, dan istrinya Bhagwati.
“Kami tidak mengira harus berada di sini hari ini. Tapi gempa di malam hari membuat kami sangat takut,” kata Bhagwati.
Saat gempa terjadi pada hari Senin, terjadi kekacauan di Jajarkot.
Orang-orang terlihat berlarian mencari tempat aman.
Gempa yang hanya berlangsung sekitar empat detik itu tidak menimbulkan korban jiwa.
Baca juga: Buruh migran Thailand, Nepal, dan negara lainnya tewas dan disandera dalam serangan di Israel
Namun, gempa ini meningkatkan ketakutan akan gempa susulan di kalangan masyarakat.
Banyak yang masih berduka atas kehilangan orang yang mereka cintai di distrik Jajarkot, tempat pusat gempa hari Jumat itu berada.
Sebanyak 101 orang tewas di wilayah tersebut.
Siddhi Ganesh Shah (42), seorang jurnalis yang hampir sepanjang hidupnya meliput gempa bumi, kehilangan ibunya, Indira Shah, 66 tahun, pada hari Jumat.
Sang ibu tertidur di sebuah kamar yang runtuh total ketika gempa terjadi.
Tubuhnya dikeluarkan dari bawah puing-puing dua jam kemudian.
Shah telah meliput gempa bumi tahun 2015 di Nepal yang menewaskan sekitar 9.000 orang.
“Gempa bumi merupakan kejadian biasa karena kondisi geografis di sini."
"Tapi saya tidak berpikir saya akan kehilangan seseorang karenanya,” katanya.
Upaya pemberian bantuan di Jajarkot terhambat karena kondisi wilayah tersebut yang berbukit-bukit.
Hari Bahadur, presiden Unit Palang Merah Jajarkot, mengatakan:
“Bahan bantuan tidak menjangkau mereka yang berada di pedalaman karena mereka yang mendistribusikan sebagian besar mengirimkannya ke tempat-tempat yang memiliki jalan raya.”
Beberapa petugas dari Kepolisian Bersenjata Nepal, yang melakukan operasi penyelamatan, mengeluhkan kurangnya peralatan yang memadai.
“Kami tidak memiliki mesin yang mendeteksi keberadaan manusia di bawah puing-puing, sehingga sulit menemukan korban,” kata seorang petugas Kepolisian Angkatan Darat yang sedang membersihkan puing-puing pada Senin sore.
"Saya menyelamatkan seorang wanita setelah jari di cincinnya memantulkan sinar matahari."
"Saat kami menariknya keluar, dia sudah tidak ada. Peralatan lain juga kurang, tapi kami berhasil mengeluarkan semua orang," lanjutnya.
Harish Chandra Sharma, Asisten Kepala Distrik Jajarkot, mengatakan:
“Kami telah bekerja tanpa henti selama tiga hari."
"Segalanya sulit, namun upaya penyelamatan dan bantuan kali ini lebih terkoordinasi.”
“Kami berharap akan ada lebih sedikit orang di kamp bantuan hari ini, namun gempa bumi baru pada hari Senin telah mengubah hal tersebut,” kata Sharma kepada The Indian Express.
Baca juga: Korban Tewas Akibat Gempa di Nepal jadi 137 Orang, Tim Penyelamat Alami Kendala Evakuasi
Seorang pejabat di Jajarkot mengatakan sejauh ini, 5.900 selimut dan 7.052 tenda telah diterima dari berbagai organisasi.
Distrik Jajarkot, yang dianggap paling terbelakang secara ekonomi di Nepal, memiliki hubungan dekat dengan India.
Banyak keluarga di Jajarkot yang mengirim anggota laki-lakinya ke kota-kota di India untuk bekerja sebagai buruh upahan harian.
Banyak dari mereka telah kembali ke rumah setelah mendengar berita tentang gempa yang terjadi pada hari Jumat.
Nara Bahadur Karki (50), yang gagal mengikuti pemilu 2022 untuk kursi Jajarkot di Majelis Rendah Parlemen Nepal, mengatakan distrik tersebut dikenal sebagai “kesedihan Nepal”.
“Selain menjadi wilayah paling terbelakang di Nepal, Jajarkot juga sering dilanda gempa bumi, epidemi, tanah longsor, dan kecelakaan lalu lintas."
"Masyarakat di distrik ini sangat menderita, dan gempa bumi yang terjadi pada hari Senin telah meninggalkan beberapa luka di setiap rumah, baik secara fisik maupun mental,” kata Karki, yang tiba di Jajarkot pada hari Senin dari Kathmandu.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)