TRIBUNNEWS.COM - Prancis mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional terhadap Presiden Suriah, Bashar al-Assad, Rabu (15/11/2023).
Menurut laporan Reuters yang mengutip sumber peradilan dan pengacara yang mewakili para korban, Assad didakwa bersama saudara laki-lakinya bernama Maher al-Assad, dan dua pejabat senior; Jenderal Militer Ghassan Abbas dan Bassam al-Hassan atas penggunaan senjata kimia terlarang terhadap warga sipil di Damaskus.
Kasus tersebut dilaporkan oleh Pusat Media dan Kebebasan Berekspresi Suriah (SCM) di Prancis.
Surat perintah penangkapan menyebut terdakwa terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Surat perintah tersebut dikeluarkan menyusul penyelidikan kriminal atas serangan kimia di kota Douma dan distrik Ghouta Timur pada Agustus 2013.
Dalam operasi tersebut, lebih dari 1.000 orang tewas.
Baca juga: Pengadilan Prancis Serukan Penangkapan Presiden Suriah Bashar Assad Atas Genosida Tahun 2013
Ini adalah surat perintah penangkapan internasional pertama yang dikeluarkan untuk kepala negara Suriah.
"Dan merupakan surat perintah penangkapan internasional pertama yang dikeluarkan terkait serangan senjata kimia di Ghouta," kata Pengacara dan pendiri Pusat Media dan Kebebasan Berekspresi Suriah (SCM), Mazen Darwish, dikutip Al Jazeera.
"Ini adalah kemenangan bagi para korban, keluarga mereka, dan mereka yang selamat dari serangan kimia tahun 2013, sebuah langkah menuju keadilan dan perdamaian di Suriah," kata Darwish.
Suriah membantah menggunakan senjata kimia
Namun penyelidikan gabungan sebelumnya antara PBB dan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia menemukan bahwa pemerintah Suriah menggunakan agen saraf sarin dalam serangan pada April 2017.
Suriah juga disebut telah berulang kali menggunakan klorin sebagai senjata.
Belum ada komentar langsung dari Damaskus.
Baca juga: Milisi Proksi Iran Balas Serangan, Empat Tentara AS di Suriah Tewas Kena Rudal Grad
Saudara Presiden Suriah, Maher al-Assad, memimpin unit elit militer Suriah, Divisi Lapis Baja ke-4.
Sementara dua jenderal militer, Ghassan Abbas dan Bassam al-Hassan, bekerja dengan lembaga penelitian Suriah yang dituduh mengembangkan senjata kimia, menurut kelompok hak asasi manusia Pembela Hak Sipil.
Langkah menuju keadilan
Perancis mengklaim yurisdiksi di seluruh dunia atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bagi Darwish, langkah ini merupakan perkembangan sangat besar menuju keadilan.
"Yurisdiksi independen mengakui bahwa serangan kimia tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan Presiden Suriah, bahwa ia mempunyai tanggung jawab dan harus bertanggung jawab," ucap Darwish.
Kasus terhadap al-Assad dan para pejabat tinggi militer didukung oleh kesaksian langsung dan analisis mendalam terhadap rantai komando militer Suriah, kata Darwish.
Baca juga: Jet Tempur F-15 AS Gempur Korps Garda Revolusi Iran di Suriah
Aktivis pada tahun 2013 memposting video amatir di YouTube yang menunjukkan dampak serangan tersebut, termasuk rekaman puluhan mayat, banyak di antaranya anak-anak, tergeletak di tanah.
Gambar lain menunjukkan anak-anak yang tidak sadarkan diri, mulut orang-orang berbusa, dan dokter tampaknya memberi mereka oksigen untuk membantu mereka bernapas.
Adegan tersebut memicu rasa jijik dan protes di seluruh dunia.
Sebuah laporan PBB kemudian menyatakan ada bukti jelas penggunaan gas sarin, agen saraf yang mematikan.
Dilansir France24, Suriah pada tahun 2013 setuju untuk bergabung dengan organisasi pengawas global Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) dan menyerahkan semua senjata kimia.
OPCW sejak itu menyalahkan Damaskus atas serangkaian serangan kimia selama perang saudara.
Baca juga: Amerika Serikat Serang 2 Fasilitas Militer Milik Iran di Suriah, sebagai Balasan Tentaranya Diserang
Pemerintah Suriah membantah tuduhan tersebut.
Perang saudara di Suriah pecah pada tahun 2011 setelah penindasan al-Assad terhadap demonstrasi damai yang meningkat menjadi konflik mematikan yang menarik kekuatan asing.
Perang ini telah menewaskan lebih dari setengah juta orang dan membuat separuh populasi negara itu mengungsi sebelum perang.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)