TRIBUNNEWS.COM - Dalam dua bulan terakhir, jurnalis Palestina Yara Eid kehilangan rumah, anggota keluarga dan teman akibat serangan Israel yang tanpa henti di Jalur Gaza.
"Saya telah melalui empat agresi di Gaza. Saya telah melihat orang-orang terbunuh di depan mata saya," ungkapnya dalam sebuah wawancara untuk program Real Talk dari Middle East Eye.
"Namun agresi ini, genosida ini, adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan."
Wanita 23 tahun ini dibesarkan di kamp pengungsi Bureij di Gaza tengah.
Seluruh lingkungan tempat tinggalnya menjadi sasaran bom Israel sejak 7 Oktober.
"Saya kehilangan segalanya. Saya kehilangan keluarga. Saya kehilangan rumah. Saya kehilangan kota."
Baca juga: Israel Luncurkan Laman Propaganda Hamas.com, Jurnalis: Situs Palsu
"Saya kehilangan sahabat saya. Saya kehilangan atasan saya. Mentor saya. Saya kehilangan 60 tahun anggota keluargaku," katanya.
Yara Eid pernah meliput pemboman Israel pada tahun 2022 di Jalur Gaza untuk Ain Media, sebuah organisasi berita Palestina.
Ia pindah ke Inggris pada tahun 2016, dan kemudian kuliah hubungan internasional di Universitas Edinburgh.
Yara menghabiskan sebagian dari tujuh tahun terakhirnya dalam terapi, mencoba mengatasi gangguan stres pasca-trauma (PTSD) akibat perang Israel di Gaza pada tahun 2014.
Pasukan Israel membunuh sedikitnya 2.251 warga Palestina saat itu, lebih dari 500 di antaranya adalah anak-anak.
“Saya mendapat hak istimewa untuk mendapatkan perawatan medis. Saya mempunyai seorang terapis,” katanya.
Ia menyebut anak-anak yang selamat dari perang saat ini akan mengalami trauma yang parah.
“Misalnya putri sepupu saya, Hannah, dia kehilangan seluruh keluarganya,” jelas Yara.
“Dia satu-satunya yang selamat karena dia keluar rumah untuk minum obat bersama salah satu pamannya."
"Saya memikirkan tentang gadis ini. Masa depan apa yang akan dimiliki gadis ini? PTSD macam apa yang akan dia derita?"
Baca juga: Kekerasan terhadap Jurnalis Palestina Masih Berlanjut, CPJ: Diserang Waktu Liput Pembebasan Tawanan
Lebih dari 15.000 warga Palestina di Gaza telah terbunuh akibat serangan Israel dalam sembilan minggu terakhir, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Setelah gencatan senjata selama seminggu berakhir, ratusan warga Palestina terbunuh di Gaza.
"Warga Palestina Lebih dari Sekedar Angka"
Yara Eid mengatakan bahwa media Barat tidak memanusiakan warga Palestina dan memperlakukan hidup mereka sebagai “sekedar angka”.
“60 anggota keluarga saya yang hilang, semuanya punya nama, punya mimpi, punya kehidupan,” katanya.
Yara menambahkan bahwa Gaza adalah tempat yang kecil.
Meskipun dihuni oleh dua juta penduduk, Gaza terasa seperti sebuah komunitas yang erat.
"20.000 orang yang terbunuh, saya kenal mereka."
"Masing-masing dari mereka ada hubungannya dengan saya, entah itu teman dari teman atau putri dari ibu yang berteman dengan ibu saya," katanya.
Ibu Eid termasuk di antara mereka yang berada di Gaza saat ini.
Baca juga: Jurnalis Palestina Belal Jadallah Tewas dalam Serangan Israel, Dikenal sebagai Mentor yang Baik
“Beberapa hari saya tidak mendengar apakah ibu saya masih hidup atau tidak."
"Dan saya hanya gemetar sepanjang hari, tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menangis, bertanya, berdoa agar dia masih hidup,” katanya.
Salah satu dari puluhan ribu orang yang tewas adalah jurnalis Palestina Ibrahim Lafi, teman terdekat Yara Eid sekaligus mantan koleganya di Ain Media.
Ibrahim Lafi terbunuh oleh serangan Israel pada hari pertama konflik saat meliput di Beit Hanoun, dekat pagar pemisah dengan Israel.
"Dia adalah sahabatku. Orang yang akan kutelepon saat aku sedang sedih atau saat aku bahagia. Orang yang akan kubagikan setiap detail kekonyolanku," tuturnya.
“Dia terus berbicara tentang bagaimana dia akan mengunjungi saya di London."
"Dia tidak pernah pergi dari Gaza."
"Kami selalu berbicara tentang bagaimana kami akan menjadi satu tim. "
"Saya dan dia, saya akan menjadi reporter. Dia adalah juru kamera."
Selain Lafi, salah satu pendiri Ain Media, Roshdi Sarraj, juga tewas akibat bombardir Israel.
Baca juga: Cerita Jurnalis Palestina di Israel yang Diintimidasi dan Diancam, Ada yang Ditodong Senjata
Setidaknya 61 jurnalis tewas dalam konflik tersebut, 54 di antaranya adalah warga Palestina, empat warga Israel, dan tiga warga Lebanon.
Mengharap Bantuan Internasional
Yara Eid mengatakan bahwa ia memang mempelajari hukum internasional, namun sejak itu ia kecewa dengan efektivitas hukum tersebut di Palestina.
“Hukum internasional hanya berlaku bagi siapapun yang mereka inginkan,” katanya.
“Hak asasi manusia warga Palestina tidak penting. Hak asasi anak-anak di Palestina tidak penting.”
Dia memutuskan untuk menekuni jurnalisme untuk menyampaikan kenyataan di lapangan.
“Seluruh hidup saya adalah tentang pendudukan."
"Seluruh hidup saya adalah tentang pembunuhan, pemenjaraan, blokade, dan penderitaan."
“Semua yang saya lakukan adalah karena saya orang Palestina."
"Semua yang saya lakukan dalam hidup saya, karier saya, impian saya, keinginan saya, semuanya berkisar pada kelahiran di Gaza di bawah pendudukan.”
Yara mengatakan dia berharap bisa membuat film tentang romansa dan alam serta keindahan tanah airnya.
“Saya harap saya di sini menceritakan kepada Anda tentang impian anak-anak Palestina."
"Tapi malah saya memberi tahu Anda bahwa 8.000 di antara mereka telah terbunuh.”
Dia percaya bahwa setiap orang – warga Palestina atau bukan – dapat membuat perbedaan dan memperkuat perjuangan Palestina.
"Anda bisa terus memboikot. Anda bisa terus membicarakan Palestina,” kata Eid.
“Kami ingin Anda terus berjuang untuk kami.”
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)