Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, menyoroti agresivitas Tiongkok di Laut China Selatan (LCS).
Dirinya mengatakan negara-negara di regional Asia Tenggara harus mampu memainkan peran untuk mencegah tindakan agresif Tiongkok di kawasan perairan Asia Tenggara.
Langkah ini, menurut Johanes, untuk menghindari pelibatan kekuatan-kekuatan dari luar kawasan.
"Negara-negara ASEAN harus bersatu dan menyatakan sikap yang tegas terhadap provokasi dari RRC di LCS," ujar Johanes melalui keterangan tertulis, Sabtu (15/12/2023).
Hal tersebut diungkapkan oleh Johanes dalam seminar publik berjudul: "China, Filipina, dan Ketegangan Kawasan Asia Tenggara", yang diselenggarakan FSI di Jakarta.
Negara-negara ASEAN lainnya, kata Johanes, harus memperhatikan bahwa tindakan agresif yang dilakukan RRC terhadap Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, dapat ditelusuri hingga setidaknya satu dasawarsa lalu.
Baca juga: Filipina Risau, Laut China Selatan Makin Tak Aman, Ajak Tetangga di ASEAN Beraliansi
"Perlu dicatat bahwa Filipina telah mengambil berbagai langkah yang berbeda beda, salah satunya adalah mengajukan gugatan terhadap RRC kepada Mahkamah Arbritase Internasional di Den Haag, dengan hasil yang memperkuat posisi hukum Filipina dalam hal kepemilikan ZEE mereka di LCS,” tutur Johanes.
Ia mengingatkan bahwa hasil Mahkamah Arbritase Internasional pada 2016 itu. Meski begitu, dia mengungkapkan RRC menolak untuk menaati keputusan mahkamah internasional.
"Sehingga Filipina nampaknya mencoba cara yang lebih halus, yaitu dengan membangun pertemanan dengan RRC, khususnya pada era kepresidenan Durtete,” tutur Johanes.
Namun menurutnya, baik strategi yang tegas maupun upaya pertemanan yang telah dilakukan oleh Filipina tidak membuat RRC menghentikan langkah agresifnya pada negara Asia Tenggara itu.
Baca juga: Indonesia Dorong Pembentukan Code of Conduct di Laut China Selatan Waspadai Eskalasi Ketegangan
Menurutnya, tindakan agresif RRC bahkan makin meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.
"Itulah sebabnya Filipina mengambil langkah lain, yaitu mengandalkan dukungan sekutunya, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat lainnya, sebagai sebuah langkah yang terpaksa Filipina lakukan untuk mempertahankan diri menghadapi provokasi dan tindakan agresif dari RRC," jelas Johanes.
Sementara itu, Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina, Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, menyampaikan gambaran umum hubungan RRC-Filipina yang dilatarbelakangi sengketa wilayah di LCS.
Baca juga: Reaksi Tiongkok usai Filipina Berulah di Laut China Selatan, Menlu Wang Wenbin: Jangan Provokasi
"Tahun 1949 China mengumumkan sebuah istilah baru, yaitu “nine dash line” (sembilan garis putus-putus), yang berisi klaim sepihak atas wilayah teritori perairan sekitar LCS/WPS (Laut Filipina Selatan), bahkan selanjutnya China menetapkan “ten- dash line” (sepuluh garis putus-putus)," tutur Agus Widjojo.
Sedangkan Filipina berpegang teguh pada hukum laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982.
Serta putusan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag tahun 2016 yang memenangkan Filipina atas klaim LCS /WPS dari China.
Seminar ini juga dihadiri pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Ristian Atriandi Suprianto, Dekan Fakultas Keamanan Universitas Pertahanan Mayor Jenderal Dr. Pujo Widodo dan Ketua Program Studi Magister Keamanan Maritim Kolonel (KH) Dr. Panji Suwarno.