Otoritas militer Israel mengklaim bahwa insiden semacam itu termasuk dalam “persentase penolakan rutin,” dengan 20 persen perempuan tentara IDF unit “Kontrol Perbatasan” menolak untuk dipindahkan ke pos-pos observasi.
Namun, situs berita Israel mengatakan IDF kini mempertimbangkan kebutuhan akan perempuan sebagai petugas pengawas, sebuah “keadaan darurat yang kritis”.
Komando militer Israel untuk “pertama kalinya” memutuskan kalau posisi tersebut akan diawaki oleh anggota pasukan cadangan militer Israel dan tidak akan dibatasi hanya pada staf tetap.
Struktur Komando yang Rapuh
Media Israel tersebut juga mengulas seputar serangan pasukan elite Hamas, Brigade al-Qassam, yang menyerbu pos terdepan kolonial dan mengambil kendali di samping beberapa situs dan pangkalan militer Israel lainnya, yang mengelilingi Jalur Gaza.
Serangan Brigade Al-Qassam itu dinilai menguak rapuhnya kemampuan dan struktur komando pasukan Israel untuk mengamankan pagar pemisah dengan Jalur Gaza.
Selain rantai komando yang cenderung berantakan, militer Israel juga mengalami banyak masalah terkait agresi militer mereka ke Gaza dalam kerangka aksi balasan serangan Banjir Al-Aqsa Hamas.
Hal ini mencakup ketakutan pasukan cadangan yang bertugas dalam peran penting, seperti pos pengamatan, serta ketidaksiapan unit tempur lain untuk bergabung dalam invasi darat ke Jalur Gaza.
Pada akhir Desember, komando Israel memanggil tentara cadangan untuk membentuk brigade baru untuk “tugas perlindungan” di sekitar Gaza dan Tepi Barat.
Namun, para prajurit tersebut, yang tidak memiliki organisasi, peralatan, dan rantai komando yang memadai, kemudian diberitahu kalau mereka akan mengambil bagian dalam misi tempur perkotaan di Jalur Gaza.
"Selama pelatihan yang tidak memadai, tentara menghadapi kesenjangan peralatan yang serius dan kurangnya profesionalisme serta sumber daya," ungkap laporan radio Reshen Bet Israel.
Baca juga: Krisis Tentara Israel Kian Parah, Setengah Batalion Brigade Hashomer Tak Mau Masuk Gaza
(oln/ynrt/almydn/*)