News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Aktivis Pro-Palestina Rusak Lukisan Balfour: Dia yang Memulai Pembersihan Etnis di Palestina

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Suci BangunDS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aktivis pro-Palestina rusak lukisan Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, di Cambridge University, Jumat (8/3/2024). Balfour, lewat suratnya yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour, adalah pemicu terusirnya warga Palestina dari tanah air mereka.

TRIBUNNEWS.com - Seorang aktivis pro-Palestina di Inggris, mengecat dan menyilet sebuah lukisan bergambar Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour.

Lukisan Balfour yang ada di Cambridge University itu sengaja dirusak oleh aktivis pada Jumat (8/3/2024), sebagai bentuk protes agres Israel di Gaza yang masih berlangsung sampai saat ini.

Sebuah video yang diunggah ke media sosial oleh kelompok protes Aksi Palestina, memperlihatkan seorang wanita menyemprotkan cat merah pada potret Balfour itu.

Dikutip dari Al Jazeera, ia juga tampak beberapa kali menyilet lukisan tersebut.

Aksi tersebut termasuk dalam serangkaian protes yang dilakukan para aktivis pro-Palestina terhadap perang Israel di Gaza.

"Deklarasi Balfour memulai pembersihan etnis Palestina dengan menjanjikan tanah tersebut akan diambil alih – yang tidak berhak dilakukan oleh Inggris," kata kelompok Aksi Palestina dalam keterangan yang menyertai klip tersebut.

Sebagai informasi, saat menjabat sebagai Menlu Inggris, Balfour mencetuskan deklarasi pada 1917, yang kemudian menyebabkan warga Palestina terusir dari tanah air mereka sendiri setelah kedatangan kaum Yahudi.

Deklarasi itu bermula dari surat yang ditulisnya untuk tokoh komunitas Yahudi, Lionel Walter Rothschild, pada 2 November 1917.

Dalam surat yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Balfour, berisikan soal kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara, di mana lebih dari 90 persen penduduknya adalah asli Arab Palestina.

Setelahnya, saat mandat Inggris dibentuk pada 1923 dan berlangsung sampai 1948, Inggris memfasilitasi imigrasi massal kaum Yahudi yang kebanyakan melarikan diri dari Nazisme di Eropa.

Deklarasi Balfour itu berujung pada tragedi Nakba atau bencana dalam bahasa Arab di Palestina, pada 1948.

Baca juga: Sejarah Panjang Konflik Israel-Palestina, Genosida yang Bermula dari Pencurian Tanah

Saat itu, diperkirakan ada 15 ribu warga Palestina yang terbunuh karena mermpertahankan tanah air mereka.

Sementara, 750 warga Palestina lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Saat ini, warga Palestina di Gaza kembali menjadi korban serangan Israel buntut Operasi Banjir Al-Aqsa sebagai upaya mempertahankan tanah Palestina.

Kementerian Kesehatan di Gaza mengungkapkan setidaknya 30.878 warga Palestina tewas akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023, dilansir Al Arabiya.

Sementara, 72.402 lainnya terluka.

UN Women: Dalam Sehari, Ada 63 Perempuan Palestina Tewas

Sebelumnya, pada awal Maret 2024 lalu, UN Women merilis siaran pers mengenai korban perempuan di Jalur Gaza akibat serangan Israel.

Menurut UN Women, sebagaimana dikutip Al Mayadeen, perang di Gaza diperkirakan menewaskan 63 perempuan Palestina setengah harinya.

Setengah dari angka tersebut merupakan ibu.

Nyawa perempuan Palestina di Gaza tak hanya terancam karena serangan Israel, namun juga gegara kelaparan.

Sebanyak 84 persen perempuan di Gaza, menunjukkan mereka terpaksa tidak makan demi anggota keluarga lainnya.

Baca juga: 9.000 Wanita Palestina di Gaza Mati Syahid akibat Serangan Israel, 300 Lainnya Ditangkap IDF

Sementara itu, 95 persen para ibu di Palestina, juga mengalami kelaparan demi anak-anak mereka.

Dalam siaran persnya, UN Women memperingatkan bahwa "lebih banyak lagi" perempuan akan meninggal dalam beberapa minggu mendatang jika tidak ada gencatan senjata segera.

"Pembunuhan, pemboman, dan penghancuran infrastruktur penting di Gaza harus dihentikan. Bantuan kemanusiaan harus segera masuk dan melintasi Gaza," kata UN Women.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini