TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un memimpin latihan taktis untuk mensimulasikan serangan balasan nuklir, Senin (22/4/2024), lapor media pemerintah negara tersebut sehari setelah agenda tersebut.
Sebelumnya, negara tetangga telah melaporkan aktivitas peluncuran beberapa rudal balistik di perairan timur Semenanjung Korea.
Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) mengatakan rezim Kim Jong Un untuk pertama kalinya menguji mekanisme komando dan kontrol kekuatan nuklir yang dinamai "Haekbangashoe", yang secara harfiah berarti "pemicu nuklir".
Aktivitas ini menandakan keenggangan Korea Utara untuk menaati resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang uji coba rudal balistik dan latihan militer skala besar di dekat perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan, Newsweek melaporkan.
KCNA menyalahkan ketegangan yang sangat tinggi di semenanjung Korea adalah akibat “demam perang ekstrem” yang dialami Amerika Serikat dan sekutunya Korea Selatan, yang sedang melakukan latihan udara gabungan mereka sendiri.
Foto-foto yang diterbitkan oleh KCNA menunjukkan empat peluncuran rudal yang dikatakan sebagai “unit roket ganda super besar” berukuran 600 milimeter.
Unit tersebut diklaim akan memainkan peran penting dalam potensi serangan balasan nuklir di masa depan yang dilakukan melalui sistem Haekbangashoe.
Proyektil tersebut secara akurat mengenai sasaran darat pada jarak 352 kilometer, kata laporan itu.
"Unjuk kekuatan ini merupakan sinyal peringatan yang jelas kepada musuh karena dilakukan pada saat konfrontasi militer musuh terhadap DPRK dilakukan dengan sifat yang sangat provokatif dan agresif," kata KCNA, menggunakan nama resmi Korea Utara, Republik Demokratik Rakyat Korea.
Kim Jong Un dilaporkan memuji ketepatan sistem senjata tersebut, dan menyamakannya dengan penembakan senapan penembak jitu.
Pada hari Senin, Korea Selatan dan Jepang masing-masing melaporkan deteksi dugaan rudal balistik jarak pendek yang ditembakkan dari Pyongyang ke Laut Timur, yang lebih dikenal sebagai Laut Jepang, sekitar pukul 15.00 waktu setempat.
Baca juga: 38 North Ungkap Dugaan Animator Korea Utara Ciptakan Kartun untuk Perusahaan Barat
Bulan lalu, kedua negara tersebut bersama AS, mengumumkan pengaktifan mekanisme berbagi data rudal secara real-time untuk memantau peluncuran rudal Korea Utara.
Kementerian Pertahanan Jepang mengatakan pihaknya melacak sebuah roket yang telah menempuh jarak 185 mil sebelum jatuh ke air.
Ketinggian dan perkiraan waktu penerbangan menunjukkan bahwa rudal Korea Utara dirancang untuk mencapai lokasi di Selatan.
Kim Jong Un terakhir kali mengawasi uji coba sistem peluncuran roket ganda 600 milimeter milik militernya pada bulan Maret lalu.
Pada saat itu, laporan berita negara menyatakan senjata tersebut mungkin dilengkapi dengan hulu ledak nuklir.
Lee Sung Joon, juru bicara Kepala Staf Gabungan Korea Selatan, mengatakan Korea Utara kemungkinan besar melebih-lebihkan keakuratan sistem roketnya.
Ia juga mengatakan bahwa militer Korea Selatan dapat mendeteksi dan mencegat senjata tersebut, menurut The Associated Press.
Lee Sung Joon menambahkan bahwa Korea Utara mungkin menggunakan latihan pada tanggal 22 April untuk menguji coba peluncur roket sebelum kemungkinan mengekspornya ke Rusia.
Korea Utara dan Rusia berulang kali membantah melakukan perdagangan senjata.
Komando Indo-Pasifik A.S. yang bermarkas di Hawaii mengatakan bahwa peluncuran terbaru tersebut tidak menimbulkan ancaman langsung terhadap personel atau wilayah A.S., atau terhadap sekutu.
Namun mereka mengatakan bahwa uji coba tersebut menyoroti dampak program senjata terlarang DPRK yang mengganggu stabilitas di kawasan tersebut.
Pada konferensi pers pada hari Senin, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengecam peluncuran rudal balistik terbaru Korea Utara.
Miller menilai peluncuran itu melanggar beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB.
“Mereka menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan regional dan internasional, dan ini jelas akan menjadi agenda ketika Menlu melakukan perjalanan ke Beijing,” kata Miller, merujuk pada kunjungan Antony Blinken ke ibu kota China, yang dijadwalkan dilakukan pada 24-26 April.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)