TRIBUNNEWS.COM - Karyawan Google di Amerika Serikat (AS) belum lama ini menggelar aksi duduk di kantor raksasa teknologi tersebut di New York City (NYC), California, dan Seattle.
Dalam protes tersebut, mereka menentang kontrak kerja sama dengan pemerintah Israel, yang dikenal sebagai Proyek Nimbus.
Proyek Nimbus merupakan kontrak bersama antara Google dan Amazon yang ditandatangani pada tahun 2021.
Kontrak kerja tersebut bertujuan untuk menyediakan infrastruktur komputasi awan, kecerdasan buatan (AI), dan layanan teknologi lainnya kepada pemerintah Israel dan militernya, yang menghadapi kecaman atas perangnya di Gaza.
Menurut laporan tahun 2021 oleh media The Intercept yang berbasis di AS, Google menawarkan kemampuan AI tingkat lanjut ke Israel, yang dapat mengumpulkan data untuk pengenalan wajah dan pelacakan objek sebagai bagian dari Proyek Nimbus.
Buntut protes itu, perusahaan memecat setidaknya 28 karyawan karena “melanggar kode etik Google” dan “kebijakan pelecehan, diskriminasi, dan pembalasan”.
Selain itu, setidaknya sembilan karyawan Google ditangkap karena aksi duduk di kantor Google di New York dan Sunnyvale.
Lalu, mengapa karyawan Google menentang Proyek Nimbus?
Aksi duduk di New York dan Sunnyvale California dipimpin oleh No Tech For Apartheid.
Sejak tahun 2021, No Tech For Apartheid telah mengorganisir karyawan Google melawan Proyek Nimbus.
Para karyawan menentang hubungan perusahaan mereka dengan Israel, yang juga menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional atas perang mereka di Gaza dengan Hamas.
Baca juga: Apa Itu Proyek Nimbus? Kerjasama Militer Israel dan Google di Bidang Teknologi Kecerdasan Buatan
Pekerja teknologi menuntut agar mereka mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana tenaga kerja mereka akan digunakan (dalam Proyek Nimbus).
Karena penjelasan yang dituntut dirasa tak memenuhi ekspektasi, mereka tambah khawatir jika teknologi tersebut malah digunakan untuk hal-hal yang merugikan.
Pekerja di Amazon dan perusahaan induk Facebook, Meta, juga bentrok dengan bos mereka karena perang Israel-Hamas di Gaza.
“Mustahil untuk merasa bersemangat untuk bekerja ketika Anda tahu perusahaan Anda menyediakan produk-produk pemerintah Israel yang membantunya melakukan kekejaman di Palestina,” kata Tina Vachovsky, staf insinyur perangkat lunak di Google, dalam sebuah testimoni yang dipublikasikan di No Tech For Apartheid, dikutip dari Al Jazeera.
Selain itu, aktivis dan akademisi juga khawatir dengan penggunaan AI oleh Israel untuk menargetkan warga Palestina.
Pakar hukum mengatakan penggunaan AI dalam perang melanggar hukum internasional.
Profesor di Universitas California, Los Angeles (UCLA), Ramesh Srinivasan, berkata kepada Al Jazeera bahwa Proyek Nimbus kurang transparan.
"Data untuk pemerintah Israel, tentu saja, kemungkinan besar akan diperluas ke (tentara) Israel," katanya.
"Jadi ini adalah proyek yang menandai dan menyoroti hubungan langsung yang dimiliki perusahaan-perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat, tidak hanya dengan apa yang disebut sebagai kompleks industri militer, namun juga secara langsung membantu dan bersekongkol dengan pemerintah Israel," katanya.
Disebutkan juga para pekerja yang ikut serta dalam aksi duduk damai dan menolak untuk pergi tidak merusak properti atau mengancam pekerja lainnya.
“Alasan untuk menghindari berkonfrontasi dengan kami dan kekhawatiran kami secara langsung, dan berupaya membenarkan penembakan yang ilegal dan bersifat pembalasan, adalah sebuah kebohongan,” kata pernyataan itu lebih lanjut.
Sebaliknya, No Tech for Apartheid menyebut mereka menerima tanggapan yang sangat positif, dikutip dari Palestine Chronicle.
Baca juga: Karyawan Google di PHK Usai Desak CEO Putus Kontrak Rp19,4 Triliun dengan Israel
Pernyataan Google
Dalam sebuah pernyataan, Google mengatakan bahwa kontrak Proyek Nimbus “tidak ditujukan pada beban kerja yang sangat sensitif, rahasia, atau militer yang relevan dengan senjata atau badan intelijen”.
Raksasa teknologi ini mengatakan pihaknya bekerja sama dengan beberapa pemerintah di seluruh dunia, termasuk Israel.
"Kami memiliki budaya diskusi yagn dinamis dan terbuka yang memungkinkan kami menciptakan produk luar biasa dan mewujudkan ide-ide hebat menjadi nyata," kata CEO Google Sundar Pichai melalui sebuah pesan yang dibagikan di blognya minggu lalu.
Tulisan di blog itu menekankan bahwa budaya di perusahaan itu penting untuk dilestarikan.
"Namun, pada akhirnya kita adalah tempat kerja dan kebijakan serta ekspektasi kita jelas: ini adalah bisnis, dan bukan tempat untuk bertindak dengan cara yang mengganggu rekan kerja atau membuat mereka merasa tidak aman, mencoba menggunakan perusahaan sebagai platform pribadi, atau untuk memperebutkan isu-isu yang mengganggu atau memperdebatkan politik. Ini adalah momen yang terlalu penting sebagai sebuah perusahaan untuk kita alihkan perhatiannya,” tulisnya.
Sayangnya, karyawan mengabaikan peringatan sang CEO.
Mohammad Khatami, seorang insinyur perangkat lunak Google yang ditangkap karena berpartisipasi dalam aksi duduk di New York, mengatakan kepada outlet AS Democracy Now bahwa para pekerja ditangkap karena “berbicara menentang penggunaan teknologi kami untuk mendukung genosida pertama yang didukung AI”.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)