TRIBUNNEWS.COM - Bak berputar 180 derajat, pemerintah kembali melarang penggunaan ganja yang sebelumnya mendapatkan status legal.
Status legalisasi ganja sendiri merupakan kebijakan peninggalan dari administrasi pemerintahan sebelumnya yang dikuasai oleh koalisi partai Palang Pracharat pada periode tahun 2019-2023.
Namun, semenjak Koalisi partai Pheu Thai memenangkan Pemilu Thailand di tahun 2023 lalu, satu persatu kebijakan dari masa partai Palang Pracharat pun dipreteli.
Salah satu aturan yang dicabut oleh koalisi partai Pheu Thai adalah langkah pemerintahan di periode sebelumnya mendekriminalisasi ganja dan rami dan melegalkan penggunannya untuk tujuan rekreasi.
Kini, koalisi Pheu Thai yang berkuasa memutuskan untuk mengklasifikasikan ganja sebagai narkotika Kategori 5, dengan pengecualian untuk penggunaan medis dan kesehatan.
Dikutip Tribunnews dari PBS Thai, keputusan ini diumumkan oleh Kementerian Kesehatan yang menerima instruksi langsung dari Perdana Menteri Srettha Thavisin untuk mengubah peraturan menteri dari administrasi sebelumnya yang mencakup ganja dalam daftar narkotika Kategori 5, yang akan selesai diberlakukan dalam tahun ini.
Adapun pengecualian untuk penggunaan terkontrol ganja untuk tujuan medis dan kesehatan, tetapi tidak untuk penggunaan rekreasi.
Pembalikan kebijakan ini juga menjadi tamparan bagi partai Bhumjaithai, salah satu mitra koalisi pemerintah, yang mempromosikan dekriminalisasi ganja dan rami sebagai kebijakan andalannya selama administrasi Prayut, yang menyebabkan budidaya ganja yang luas dan munculnya banyak outlet ritel ganja.
PM Srettha Thavisin sendiri telah mengadakan pertemuan hari kamis ini (9/5/2024) dengan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengendalian dan pemberantasan narkotika ilegal, termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, serta lembaga keamanan nasional.
Masalah utama lain yang diangkat oleh PM Srettha dalam pertemuan ini adalah hukum tentang penggunaan pil metamfetamin, atau "yaa baa".
Dia mengatakan bahwa hukum saat ini tidak menyebutkan jumlah pil yang dapat dianggap sebagai kepemilikan untuk konsumsi pribadi atau untuk perdagangan
Baca juga: 4 Negara Bahas Keberadaan Fredy Pratama, Dia Diduga Dilindungi Gengster, Sembunyi di Hutan Thailand
Karena rancunya aturan yang ada, Srettha menilai sulit bagi penegak hukum untuk mengetahui apakah akan memperlakukan seorang tersangka sebagai pengguna narkoba atau sebagai pengedar narkoba.
Guna menghilangkan kebingungan tersebut, Srettha mengatakan bahwa hukum harus ditulis ulang untuk menjelaskan bahwa memiliki satu pil metamfetamin akan dianggap untuk konsumsi pribadi dan dua atau lebih pil akan dianggap sebagai kepemilikan untuk tujuan perdagangan.
Adapun beberapa langkah yang diambil ini merupakan upaya pemerintahannya yang terus berjuang untuk memberantas peredaran narkotika ilegal sehingga pemerintahannya menambahkan masalah ini ke dalam salah satu topik utama agenda nasional
Perdana Menteri juga mengatakan langkah tegas ini wajib dilakukan karena fakta di lapangan menunjukkan banyaknya penggunaan narkotika secara ilegal, khususnya pil metamfetamin yang terus diselundupkan ke dalam negara dan tetap tersedia dengan mudah.
Srettha mengatakan bahwa salah satu masalah di balik kegagalan untuk menghentikan aliran masuk dan ketersediaan luas pil metamfetamin adalah bahwa otoritas masih belum mampu memberantas pengedar besar dengan kurangnya kejelasan aturan yang ada.
(Tribunnews.com/Bobby)