TRIBUNNEWS.COM – Israel terus membombardir Kota Rafah di Jalur Gaza meski Mahkamah Internasional (ICJ) sudah mengeluarkan putusan yang isinya meminta negara Zionis itu menghentikan serangan.
Terbaru, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyerang tenda-tenda warga Palestina di Rafah dan menewaskan setidaknya 45 orang.
Masyarakat dunia mengecam aksi brutal Israel itu. Bahkan, pemimpin kelompok Hizbullah, Hassan Nasrallah, menyebut rezim Israel "lebih buruk ketimbang Nazi".
"Saya tak melihat masa depan bagi rezim Nazi itu di kawasan ini," kata Nasrallah, Selasa (28/5/2024), pada momen berakhirnya masa berkabung bagi ibunya yang meninggal, dikutip dari Yedioth Ahronoth.
Nasrallah mengklaim aksi Israel membombardir tenda pengungsi Palestina di Rafah hanya akan mempercepat tumbangnya rezim Zionis itu.
"Rezim pendudukan itu tak punya hati nurani atau prinsip moral dan rezim itu lebih parah ketimbang Nazi," ujarnya.
Adapun ibu Nasrallah meninggal pada Sabtu pekan lalu setelah dilaporkan menderita "penyakit parah".
Dalam pidatonya Nasrallah berterima kasih kepada orang-orang yang membantu dia dan keluarganya.
IDF terus serang Rafah
Tank-tank Israel sudah mencapai pusat kota Rafah pada Selasa pekan ini.
Saksi mata melaporkan IDF mengambil alih bundaran Al-Awda di Rafah.
Serangan Israel di Rafah meningkat. Sebagai contoh, Israel melancarkan serangan udara ke pemukiman Tel Al-Sultan pada hari yang sama dan menewaskan setidaknya 16 warga Palestina.
Baca juga: Temani Afrika Selatan, Meksiko Ikut Adukan Israel ke Mahkamah Internasional
Adapun pada Minggu (26/5/2024), Israel menyerang tenda-tenda warga Palestina dan menewaskan puluhan warga Palestina.
"Kami mengeluarkan [dari puing-puing] anak-anak yang tubuhnya terpisah-pisah. Kami mengeluarkan kalangan muda dan lansia," kata Mohammed Abuassa, warga Gaza menjadi saksi serangan Israel, dikutip dari Reuters.
Para pemimpin dunia mengecam serangan itu dan meminta Israel menghentikan operasinya di Rafah.
"Operasi ini harus dihentikan. Tidak ada area aman di Rafah untuk warga sipil Palestina. Saya meminta adanya penghormatan penuh kepada hukum internasonal dan gencatan senjata dengan segera," kata Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di media sosial X.
Adapun seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional (AS) berujar bahwa Israel punya "hak untuk mencari Hamas".
Meski demikian, dia juga mengungkapkan keprihatinannya atas besarnya jumlah warga sipil yang tewas.
"Israel harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk melindungi warga sipil," kata juru bicara itu, dikutip dari Time.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut peristiwa serangan di Rafah tersebut sebagai "kesalahan tragis".
"Kita menyelidiki peristiwa itu dan akan mendapatkan kesimpulan karena ini adalah kebijakan kita," kata Netanyahu saat berpidato di depan parlemen Israel pada Senin (27/5/2024).
Militer Israel mengklaim serangan itu menargetkan kompleks Hamas di Rafah dan menewaskan dua anggota senior Hamas.
Baca juga: Israel Diam-Diam Sudah Lama Perangi ICC dengan Fitnah hingga Ancaman, Kasus Bensouda Contohnya
Akan tetapi, kelompok HAM mengatakan Israel selalu gagal melakukan penyelidikan penuh dalam kasus kekerasan terhadap warga Palestina.
Di samping itu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku biasanya adalah hukuman ringan.
Pekan lalu ICJ sudah memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militernya di Rafah.
Perintah ICJ itu muncul beberapa hari setelah kepala jaksanya mengumumkan perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan pejabat Israel lain serta pemimpin Hamas karena kasus kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, saat ini sudah 36.000 warga Palestina yang tewas karena serangan Israel.
Angka itu dianggap bisa dipercaya oleh AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ada sekitar 1,5 juta pengungsi Gaza yang tinggal di Rafah sebelum invasi darat Israel ke kota itu beberapa minggu lalu.
Saat ini kebanyakan dari mereka terpaksa mencari tempat pengungsian baru.
(Tribunnews/Febri)