Berikut adalah lima klaim utama yang dibuat oleh pemimpin Israel selama pidatonya di hadapan sidang gabungan Kongres yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Kebohongan Pertama
Klaim: "Terlepas dari semua kebohongan yang Anda dengar, perang di Gaza memiliki salah satu rasio korban kombatan terhadap non-kombatan terendah dalam sejarah perang perkotaan."
Fakta: Jumlah korban tewas di Gaza yang dikonfirmasi hampir mencapai 40.000, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, yang telah berulang kali mempublikasikan daftar korban tewas, termasuk nomor identifikasi yang dikeluarkan Israel, dan yang datanya dari konflik masa lalu telah dibuktikan PBB sebagai data yang dapat diandalkan.
Mayoritas korban tewas -- puluhan ribu -- adalah wanita dan anak-anak, dan tidak semua pria yang tewas adalah seorang pejuang. Israel sebagian besar mengabaikan korban sipil, menyalahkan Hamas karena jumlahnya telah meningkat secara dramatis selama sembilan bulan terakhir.
Jumlah korban tewas sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi daripada angka resmi dari kementerian, sebuah fakta yang bahkan diakui oleh pemerintahan Biden.
Banyak dari korban tewas kemungkinan masih terkubur di bawah puing-puing Gaza yang luas, atau dikuburkan secara sepihak di lokasi darurat oleh pasukan Israel.
Kebohongan Kedua
Klaim: "Saya sarankan Anda mendengarkan Kolonel John Spencer. John Spencer adalah kepala Studi Perang Kota di West Point. Dia telah mempelajari setiap konflik kota besar, saya akan mengatakan 'dalam sejarah modern,' dia mengoreksi saya, 'tidak, dalam sejarah.' Israel, katanya, telah menerapkan lebih banyak tindakan pencegahan untuk mencegah bahaya bagi warga sipil daripada militer mana pun dalam sejarah, dan melampaui apa yang diwajibkan oleh hukum internasional."
Fakta: Spencer adalah analis militer yang menjabat sebagai ketua program Studi Perang Kota di West Point. Ia adalah partisan pro-Israel yang terkenal yang analisisnya tentang Gaza sebagian besar berdiri sendiri di dalam komunitas yang lebih luas.
Klaim Netanyahu, yang didukung Spencer di X (sebelumnya Twitter), sangat bertentangan dengan seruan berulang kali agar Israel berbuat lebih banyak untuk mengurangi kerugian warga sipil, termasuk dari pemerintahan Biden yang selama berbulan-bulan mengatakan bahwa lebih banyak yang harus dilakukan tidak hanya untuk menghindari kematian tambahan, tetapi juga untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di seluruh Gaza.
PBB juga mengkritik keras kondisi di tempat yang dianggap Israel sebagai "zona aman". James Elder, juru bicara UNICEF, mengatakan pada tanggal 16 Juli bahwa "berdasarkan hukum internasional, tempat di mana Anda mengevakuasi orang harus memiliki sumber daya yang cukup untuk bertahan hidup -- fasilitas medis, makanan, dan air.
Artinya, apa yang disebut zona aman ini aman bukan hanya jika bebas dari pemboman, tetapi juga jika kondisi ini -- makanan, air, obat-obatan, perlindungan -- juga terpenuhi.
Namun, zona aman ini adalah petak-petak kecil tanah tandus, atau sudut-sudut jalan, atau bangunan setengah jadi, tanpa air, tanpa fasilitas, tanpa tempat berlindung dari dingin dan hujan.
Dan sekarang, dalam situasi mematikan lainnya bagi keluarga-keluarga di Gaza, mereka yang dipaksa masuk ke 'zona aman' Al Mawasi tidak hanya kehilangan layanan penyelamat nyawa tersebut, tetapi juga telah dibom tiga kali dalam 6 minggu terakhir!" Komentar tersebut muncul setelah 90 orang tewas selama serangkaian serangan di zona aman al-Mawasi dekat Rafah.
Kebohongan Ketiga
Klaim: "Jika ada warga Palestina di Gaza yang tidak mendapatkan cukup makanan, itu bukan karena Israel menghalanginya, melainkan karena Hamas mencurinya."