TRIBUNNEWS.COM - Anggota Knesset Israel yang juga merupakan pemimpin oposisi, Benny Gantz memperingatkan bisa terjadi perang saudara di Israel.
Gantz mengungkapkan pemikirannya selama acara publik yang diadakan pada hari Senin (12/8/2024), untuk memperingati "Penghancuran Bait Suci."
Dalam pernyataannya, Gantz menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak akan “mengorbankan pemerintahannya untuk melindungi warga Israel, atau melakukan apa pun yang diperlukan untuk mencegah perang saudara".
Dikutip dari Channel 14 Israel, mantan anggota kabinet perang Israel itu menekankan bahwa jika orang Israel "tidak sadar, akan terjadi perang saudara di sini. Dilarang menyembunyikan kebenaran."
"Kita telah melewati ambang batas kekerasan verbal dan fisik," kata Gantz.
"Kita belum belajar dari kejadian 7 Oktober, atau dari Penghancuran Bait Suci," lanjutnya.
Pernyataan ini muncul bersamaan dengan keretakan publik antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Keamanannya Yoav Gallant .
Keretakan hubungan mereka memicu kekhawatiran signifikan di kalangan pejabat senior dalam aparat keamanan Israel, termasuk pasukan pendudukan Israel, Shin Bet, dan Mossad.
Menurut Channel 12 Israel bulan lalu, pejabat keamanan tingkat tinggi telah memperingatkan bahwa konflik pribadi dan politik antara Netanyahu dan Gallant "merusak" manajemen operasi militer yang sedang berlangsung. Tercatat bahwa keduanya tidak berkomunikasi di luar diskusi resmi.
Netanyahu juga mempertimbangkan untuk memecat Gallant dari jabatannya dan menggantinya dengan ketua partai Harapan Baru, Gideon Sa'ar, menurut laporan media Israel.
Channel 12 baru-baru ini melaporkan bahwa Netanyahu berencana mengadakan konsultasi mengenai masalah ini selama reses musim panas Knesset, yang berlangsung selama tiga bulan.
Baca juga: Benny Gantz Mengancam Lebanon, Perang akan Segera Terjadi untuk Kesekian Kali
Hal ini muncul dengan latar belakang pernyataan terbaru yang dikeluarkan oleh Gallant, di mana ia mengklaim telah memberikan arahan kepada militer Israel tentang cara menanggapi insiden di Majdal Shams tanpa memberi tahu Netanyahu.
Kemudian munculah seruan agar Gallant dipecat oleh menteri lain di kalangan pemimpin Israel, yang menuduhnya bertindak "di luar lingkup kewenangannya."
Masa depan suram menanti 'Israel' setelah perang di Gaza
Dalam analisis baru-baru ini, majalah Foreign Affairs telah melukiskan gambaran suram tentang masa depan rezim Israel setelah perang di Gaza.
Majalah itu 'meramalkan' potensi kehancuran Israel dan masa depan yang gelap, yang ditandai oleh ketidakstabilan internal dan meningkatnya isolasi global.
Majalah tersebut berpendapat bahwa Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilakukan oleh perlawanan Palestina pada tanggal 7 Oktober 2023, menghantam pendudukan Israel pada saat terjadi pergolakan internal yang mendalam.
Majalah tersebut memperingatkan bahwa pendudukan Israel dapat berada di ambang transformasi menjadi negara yang terpecah-pecah, dengan kelompok-kelompok keagamaan dan nasionalis sayap kanan yang berpotensi membangun pemerintahan de facto mereka sendiri, khususnya di permukiman Tepi Barat.
Dalam skenario yang lebih mengerikan, Foreign Affairs berspekulasi bahwa pendudukan Israel mungkin menghadapi konflik sipil yang penuh kekerasan , yang mempertemukan para ekstremis agama bersenjata dengan lembaga-lembaga resmi negara.
Selain itu, kehadiran pasukan keamanan yang bersaing dan melemahnya pengawasan parlemen diperkirakan akan melemahkan aparat keamanan Israel secara keseluruhan, yang berpotensi menyebabkan runtuhnya struktur pemerintahannya.
Meski perang saudara yang sebenarnya belum terjadi, Foreign Affairs memperingatkan bahwa langkah Israel saat ini kemungkinan besar akan berujung pada ketidakstabilan berkepanjangan dan keruntuhan ekonomi, yang berpotensi menyebabkan kegagalannya.
Di panggung internasional, majalah tersebut mencatat bahwa pendudukan Israel semakin terisolasi.
Meskipun terus mendapat dukungan dari sekutu utama seperti Amerika Serikat, Foreign Affairs menegaskan bahwa opini publik global yang negatif, ditambah dengan tantangan hukum dan diplomatik yang semakin meningkat, akan semakin meminggirkan pendudukan Israel di kancah internasional.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)