TRIBUNNEWS.COM - Seorang diplomat Israel mengatakan kepada Newsweek bahwa konfrontasi skala besar dengan Iran sudah pasti akan terjadi.
Ia pun meminta Presiden AS Joe Biden untuk mengambil tindakan langsung terhadap Iran secepatnya.
"Tidak dapat dihindari," kata Fleur Hassan-Nahoum, utusan khusus Kementerian Luar Negeri Israel.
Iran saat ini dilaporkan sedang mempersiapkan serangan balasan atas kematian kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh dua minggu lalu di Teheran.
Sejak itu, Amerika Serikat berusaha keras menurunkan ketegangan dengan mendorong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan penerus Haniyeh, Yahya Sinwar, untuk melakukan gencatan senjata.
Dengan dimulainya putaran baru perundingan gencatan senjata pada hari Kamis (15/8/2024), Hassan-Nahoum mengatakan bahwa ancaman Iran menciptakan suasana yang sangat tegang di Israel.
Kecemasan itu telah sampai pada titik di mana ia yakin Iran dan sekutunya melancarkan perang psikologis.
Namun, bukan hanya Israel.
Ia mengatakan momok serangan besar Iran tampaknya menghantui sebagian besar wilayah Timur Tengah.
"Saya kira Amerika tidak memahami bahwa tujuan akhir di sini haruslah perubahan rezim di Iran," kata Hassan-Nahoum.
Rencana Israel untuk Jerumuskan Amerika ke Dalam Perang
Menurut Hassan-Nahoum, perang dengan Iran dapat dimenangkan AS dalam waktu setengah hari.
Baca juga: Alasan Sebenarnya Iran Tak Segera Membalas Israel
"Amerika hanya perlu menargetkan infrastruktur nuklir dengan perangkat keras yang hanya dimiliki Amerika. Kita tidak dapat melakukannya sendiri," katanya.
"Dengan bom bunker, dll, Amerika dapat menghancurkan infrastruktur nuklir, lalu mereka dapat menghancurkan empat infrastruktur dan titik energi berbeda di Iran, dan kemudian rakyat akan mengambil alih."
Iran telah berinvestasi besar-besaran dalam memperkuat infrastruktur militer dan nuklirnya.
Iran juga telah memperluas persenjataan ofensif dan defensif berupa sistem rudal dan pesawat nirawak.
Di samping itu, Iran memperdalam kemitraannya dengan Rusia dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di bidang pertahanan.
Tetapi Hassan-Nahoum berpendapat bahwa kemunduran Rusia akhir-akhir ini dengan Ukraina, akan menjadi kendala jika Rusia berupaya melindungi Iran dari serangan AS.
"Rusia tidak dalam posisi untuk membantu Iran saat ini. Jadi, ini akan menjadi momen yang kritis," kata Hassan-Nahoum.
"Rusia sedang sibuk dengan Ukraina saat ini. Ini akan menjadi waktu terbaik."
Pada saat yang sama, Hassan-Nahoum skeptis Gedung Putih akan berusaha terlibat dalam tindakan semacam itu.
Biden telah memerintahkan serangan terhadap milisi Iran di Irak, Suriah, dan Yaman selama konflik berlangsung.
Tetapi tidak ada pemerintahan AS yang pernah secara terbuka melakukan serangan langsung di tanah Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Di tahun itu, Iran berhasil menggulingkan monarki yang didukung AS, disusul perang Iran-Irak selama delapan tahun yang meletus tahun berikutnya.
Bahkan mantan Presiden Donald Trump pun, yang memerintahkan pembunuhan komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani pada tahun 2020, pada akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan rencana serangannya.
Hassan-Nahoum juga menggunakan analogi era Perang Dunia II untuk menggambarkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dengan apa yang dia yakini sebagai perlunya menggulingkan Republik Islam dengan kekerasan.
Baca juga: Tel Aviv Israel Bak Kota Mati, Kini Sepi Bersiap Hadapi Serangan Iran
"Pada akhirnya, sama seperti dunia harus berhadapan dengan Hitler, dunia juga harus berhadapan dengan Khamenei dan Republik Islam Iran," kata Hassan-Nahoum.
"Yang dilakukan semua orang sekarang hanyalah menunda masalah."
Hamas: Sudah Jadi Niat Netanyahu
Sementara itu Basem Naim, pejabat senior dan juru bicara Hamas, berpendapat bahwa menyeret AS ke dalam perang dengan Iran memang merupakan bagian dari strategi Netanyahu selama ini.
"Netanyahu berusaha mencapai tujuan ambisius yang telah ia cari selama 20 tahun melalui kesempatan yang datang kepadanya, menyeret Amerika Serikat untuk berperang bersamanya dalam pertempuran agresi melawan Iran," kata Naim kepada Newsweek.
"Baginya, ini adalah kesempatan untuk meningkatkan situasi di kawasan itu, tidak hanya di Gaza, tetapi di seluruh kawasan," imbuhnya.
"Sehingga Amerika Serikat akan berjuang bersamanya dalam pertempuran yang ia tahu tidak dapat ia lakukan sendirian."
Naim juga berpendapat bahwa Netanyahu berkomitmen untuk melanjutkan agresi hingga pemilihan umum Amerika berikutnya.
Netanyahu mungkin akan mempertimbangkan bahwa seorang presiden baru mungkin akan lebih mendukungnya dalam agresi terhadap rakyat Palestina.
Update Perang Israel-Hamas
Sejak perang dimulai Oktober lalu, setidaknya 40.005 orang tewas dan 92.401 orang terluka dalam perang Israel di Gaza, mengutip Al Jazeera.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed al-Ansari mengatakan pembicaraan antara para mediator untuk membantu mengakhiri perang di Gaza akan dilanjutkan pada hari Jumat.
Mediator gencatan senjata Gaza dari Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat sebelumnya menggelar perundingan pada hari Kamis (15/8/2024).
Di tempat lain, serangan Israel pada Kamis malam terhadap apartemen di kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara telah menewaskan beberapa warga sipil Palestina, termasuk anak-anak, demikian laporan badan pertahanan sipil Gaza.
Seorang pria Palestina tewas dan sekitar belasan lainnya terluka oleh pemukim Israel bersenjata yang menyerang komunitas Palestina di Tepi Barat yang diduduki, membakar mobil dan merusak properti.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)