Hamas Tolak "Syarat Baru" dari Israel Dalam Usulan Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza
TRIBUNNEWS.COM - Gerakan Hamas dilaporkan menyatakan tidak akan menerima "syarat baru" dari Israel dalam usulan yang diajukan selama perundingan di Doha yang bertujuan untuk menyegel kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan, kata sejumlah pejabat kepada AFP, Jumat (16/8/2024).
Syarat "baru" dari Israel termasuk mempertahankan pasukan di dalam Gaza di sepanjang perbatasannya dengan Mesir, kata seorang sumber yang mengetahui.
Baca juga: Israel Kekurangan Amunisi Level Kritis, Peluru Iron Dome Tak Memadai Tangkis Rudal Masif Hizbullah
Sementara Hamas menuntut "gencatan senjata penuh, penarikan penuh dari Jalur Gaza, pemulangan normal para pengungsi dan kesepakatan pertukaran" tanpa batasan," kata sumber tersebut.
Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Jumat sebelumnya mengenai perkembangan dalam negosiasi gencatan senjata untuk Gaza.
Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa selama 48 jam terakhir, para pejabat senior dari ketiga negara telah terlibat dalam diskusi intensif di Doha.
Baca juga: 11 Bulan Tak Jua Menang di Gaza, Kepala Staf IDF: Kami Tak Akan Biarkan Hamas Angkat Kepala
Tujuan mereka adalah untuk mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata di Gaza dan mengamankan pembebasan tawanan dan tahanan.
Pernyataan tersebut merinci bahwa negosiasi tersebut serius dan konstruktif. Sebuah proposal diajukan oleh AS, dengan dukungan Qatar dan Mesir, yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara pihak-pihak yang bertikai.
Proposal ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Presiden Biden pada tanggal 31 Mei 2024, dan mematuhi Resolusi Dewan Keamanan 2735. Proposal ini dibangun berdasarkan kesepakatan yang dicapai pada minggu sebelumnya dan membahas masalah yang tersisa untuk memfasilitasi implementasi yang cepat.
Tim teknis dari ketiga negara akan terus bekerja dalam beberapa hari mendatang untuk menyelesaikan rincian kesepakatan, termasuk ketentuan dan pengaturan kemanusiaan untuk tawanan.
Selain itu, pejabat senior dijadwalkan untuk bertemu lagi di Kairo sebelum akhir minggu depan untuk menyelesaikan kesepakatan berdasarkan ketentuan yang diajukan.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi urgensi situasi, menekankan bahwa tidak ada penundaan lebih lanjut yang dapat diterima. Pernyataan tersebut menyerukan pembebasan segera tawanan, dimulainya gencatan senjata, dan implementasi cepat dari kesepakatan tersebut.
Pernyataan tersebut juga menekankan bahwa proses ini sangat penting untuk menyelamatkan nyawa, memberikan bantuan ke Gaza, dan meredakan ketegangan regional.
Empat Syarat Baru dari Netanyahu
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengajukan empat syarat terkait kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Diketahui, pembicaraan negosiasi gencatan senjata kembali berlanjut pada Kamis (15/8/2024), di Qatar.
Namun, kesepakatan itu terancam gagal setelah Netanyahu mengajukan empat syarat.
Kondisi yang diajukan Netanyahu itu dianggap penting bagi Israel, tapi ditentang Hamas dan faksi Palestina lainnya.
Dikutip dari Anadolu Ajansi, syarat pertama yang diajukan Netanyahu adalah perlunya mekanisme untuk mencegah warga Palestina bersenjata menyeberangi Poros Netzarim dari Gaza tengah ke utara.
Terkait hal itu, para negosiator Israel sebelumnya sudah mengatakan kepada media Israel, syarat itu bisa saja mempersulit tercapainya kesepakatan.
Syarat kedua adalah agar Israel mempertahankan kendali atas Koridor Philadelphia (poros Salah al-Din) dan perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir.
Sebagai informasi, wilayah tersebut sudah berada di bawah kendali Israel sejak Mei 2024.
Syarat ketiga yang diajukan Netanyahu menyangkut mengetahui jumlah tahanan Israel di Gaza yang masih hidup.
Tahanan Israel yang masih hidup itu nantinya akan ditukar dengan tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Diketahui, Israel menahan sedikitnya 9.500 warga Palestina, sedangkan Hamas mengklaim ada sekitar 115 tahanan Israel di Gaza.
Sekitar 70 dari 115 tahanan di Gaza tewas akibat serangan udara yang dilancarkan Israel.
Kesepakatan pertukaran sandera yang diusulkan akan melibatkan pembebasan sejumlah kecil warga Israel "hidup atau mati".
Tetapi, Netanyahu bersikeras fokus pada pembebasan sebagian besar tahanan yang masih hidup.
Ia juga ingin Israel lebih dulu menerima daftar nama tahanan di Gaza.
Lalu, syarat keempat adalah, "Israel tetap memiliki hak untuk menolak pembebasan tahanan Palestina tertentu yang diinginkan Hamas dan mendeportasi tahanan yang dibebaskan ke luar Palestina."
Syarat terakhir itu mendapat penolakan keras dari Hamas.
Sebagai informasi, pembicaraan negosiasi gencatan senjata dan pertukaran sandera di Qatar pada Kamis, mempertemukan perwakilan tingkat tinggi, termasuk Kepala Intelijen Amerika Serikat (AS) dan Mesir, serta pejabat Israel yang dipimpin Kepala Mossad, David Barnea.
Sehari sebelumnya, Rabu (14/8/2024), Hamas mengatakan pihaknya akan bergabung dalam perundingan jika mendapat komitmen yang jelas dari Israel mengenai pelaksanaan proposal yang didukung Presiden AS, Joe Biden.
Pada Mei 2024 lalu, Biden mengatakan Israel mengajukan kesepakatan tiga tahap yang akan mengakhiri serangan di Gaza dan menjamin pembebasan sandera yang ditahan di Gaza.
Rencana tersebut mencakup gencatan senjata, pertukaran sandera-tahanan, dan pembangunan kembali Gaza.
Hamas Berpegang Teguh pada Dokumen 2 Juli
Terpisah, Hamas memastikan akan berpartisipasi dalam pembicaraan negosiasi hanya jika Israel menyetujui dokumen tertanggal 2 Juli 2023.
Dokumen itu membahas mengenai gencatan senjata di Gaza dan pertukaran tahanan, kata Pejabat Senior Hamas, Osama Hamdan, kepada Al Mayadeen, Kamis.
Hamdan menegaskan, dokumen 2 Juli itu sepenuhnya membahas gencatan senjata dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Ia menambahkan, gerakan Palestina mengeluarkan pernyataan yang jelas mengenai pembicaraan di Qatar berdasarkan proses negosiasi pada Kamis.
Ia juga menyebut Hamas menyetujui semua poin positif dalam usulan mediator, tapi Israel terus melakukan pembantaian.
Hamdan menjelaskan, pesan inti dari gerakan tersebut adalah Hamas tidak mau memberi Israel lebih banyak waktu untuk melakukan pembantaian.
Ia juga menambahkan, tujuan utama Hamas adalah untuk menghentikan agresi yang sedang berlangsung di Gaza.
Serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina, sebagian besar anak-anak dan perempuan.
Sementara, 92.400 lainnya terluka dan 10.000 masih hilang di bawah reruntuhan.
Lebih dari 10 bulan sejak serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza masih hancur di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), yang memerintahkannya untuk segera menghentikan operasi militernya di kota selatan Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum diserang pada 6 Mei.
(oln/rntv/*)