TRIBUNNEWS.COM – Hizbullah diperkirakan bakal mengakhiri kehidupan normal warga Israel jika perang besar antara Israel dan kelompok asal Lebanon itu meletus.
Pada hari Minggu lalu terjadi eskalasi besar di antara keduanya setelah Hizbullah menyerang Lebanon selatan.
Serangan itu adalah balasan Hizbullah atas serangan Israel yang menewaskan panglima Hizbullah bernama Fuad Shukr pada penghabisan Juli lalu.
Hizbullah meluncurkan ratusan pesawat nirawak dan roket, sedangkan Israel dilaporkan mengerahkan hingga seratus jet tempur untuk menyerang target-target di Lebanon selatan.
Puluhan pejuang Hizbullah, tentara Israel, dan warga sipil tewas dan terluka dalam aksi saling serang terbaru ini.
Meski terjadi eskalasi besar, pengamat memperkirakan Hizbullah-Israel tetap tidak ingin terseret dalam perang berskala besar.
Jika terjadi, perang itu bisa mengakhiri kehidupan normal penduduk Israel dan menghanguskan harapan Iran dalam hal upaya diplomatik.
Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah berujar, pihaknya berhasil menargetkan pos militer dan intelijen Israel.
Nasrallah menyebut Hizbullah sengaja menunda serangan balasan karena memberikan waktu untuk perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
“Tujuan kami ialah mengakhiri agresi [Israel] di Gaza, jadi kami memberikan cukup kesempatan [dalam proses perundingan gencatan senjata], tetapi setelah waktu berlalu, sudah jelas bahwa Netanyahu menempatkan syarat-ssyarat baru dan Amerika bekerja bersamanya dan ini semua membuang-buang waktu, jadi tidak ada alasan untuk menundanya lebih lama,” ujar Nasrallah dikutip dari Sputnik.
Dilaporkan, maskapai besar mulai membatalkan penerbangan dari Beirut dan Tel Aviv dan sebaliknya karena takut perang besar akan pecah.
Baca juga: Diam-diam AS Membantu Israel dengan Intelijen-nya, dalam Serangan Udara Terhadap Hizbullah
Tak ada yang menginginkan perang habis-habisan
Koordinator bidang urusan internasional di Istitut Kebijakan Publik Issam Fares Beirut, Yeghia Tashjian, mengklaim baik Israel maupun Hizbullah tak menginginkan perang besar.
Tashjian menyinggung beberapa faktor yang mendasarinya. Dua di antaranya adalah Pilpres AS dan upaya Iran untuk memulhkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat.
Dia meyakini eskalasi terbaru ini tetaplah sebagai “pertempuran yang bisa diatur”. Itu menandakan kedua belah pihak belum siap menghadapi perang besar.