TRIBUNNEWS.COM -- Situasi di Timur Tengah semakin memanas, setelah Israel melakukan penyerangan di wilayah Lebanon.
Penyerangan tersebut ternyata telah mendapat restu dari sekutu terkuatnya, Amerika Serikat.
Media Barat, Politico memberitakan bahwa 'Paman Sam' secara terbuka mendesak dilakukannya gencatan senjata antara Israel dengan Hizbullah, namun diam-diam mengizinkan negara Yahudi tersebut menghancurkan wilayah selatan Lebanon.
Baca juga: 4 Pemimpin Senior Hizbullah Tersisa di Tengah Serangan Israel, Ada Besan Mendiang Jenderal Iran
Sumber-sumber orang dalam di AS, dikutip media tersebut, Presiden Joe Biden telah menyerukan penghentian saling serang, tapi pada kenyataannya Israel secara membabi buta membombardir wilayah-wilayah Lebanon yang dipercaya menjadi sarang aktivis Hizbulah.
Israel telah lebih dari sepekan menyerang Lebanon selatan dan Beirut. Dipercaya, sebagian besar anggota militan tersebut telah menjadi korban. Senjata-senjata tersebut didatangkan dari AS.
Sebelumnya, Israel juga menyerang Hizbullah dengan bom pager dan handy talkie yang menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan lainnya.
Dalam liputan Politico, Israel menguraikan strategi militernya kepada Washington secara garis besar pada pertengahan September dan menerima persetujuan melalui penasihat senior presiden AS, Amos Hochstein dan Brett McGurk, Politico melaporkan pada hari Senin, mengutip dua pejabat Israel dan empat pejabat Amerika.
Keputusan tersebut menghadapi tentangan dari dalam Pentagon, Departemen Luar Negeri, dan komunitas intelijen, sumber tersebut mengklaim. Dilaporkan ada kekhawatiran bahwa permusuhan dapat meningkat menjadi perang besar, yang secara langsung akan melibatkan AS.
Kekerasan di perbatasan utara Israel melonjak Oktober lalu, setelah negara Yahudi itu mengepung daerah kantong Palestina di Gaza sebagai balasan atas serangan mematikan oleh kelompok militan Hamas.
Baca juga: Netanyahu ke Rakyat Iran: Israel Mendukung Kalian, Pembebasan Akan Lebih Cepat dari Perkiraan
Hizbullah mendukung Palestina dan telah bersumpah untuk menghentikan serangan roket lintas batas hanya setelah gencatan senjata dicapai di Gaza. Tujuan Israel adalah untuk "melenyapkan" Hamas sepenuhnya, dan telah berulang kali menolak seruan publik dari Washington untuk gencatan senjata.
Menurut Politico, Washington meyakini bahwa konflik Israel dengan Hamas dan Hizbullah dapat "dipisahkan" dengan cara tertentu.
Permusuhan di Lebanon akan membantu mengekang pengaruh regional Iran, yang mendukung kedua gerakan militan tersebut, demikian harapan para pejabat AS. Namun, mereka dikatakan tidak bersedia mendukung kampanye Israel secara terbuka karena strategi tersebut dapat menjadi bumerang, yang berarti Washington terus menyerukan kehati-hatian dan deeskalasi.
"Kedua hal tersebut dapat benar – AS dapat menginginkan diplomasi dan mendukung tujuan Israel yang lebih besar terhadap Hizbullah," kata Politico mengutip seorang pejabat senior AS.
"Jelas ada batasan yang harus diikuti oleh pemerintah, hanya saja tidak jelas batasan apa itu."
Sumber tersebut mengklaim bahwa Israel telah memilih serangan "terbatas" di Lebanon atas permintaan AS, sebagai lawan dari serangan darat besar-besaran.
Serangan tersebut membuat Timur Tengah semakin membara. Kematian pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah menyebabkan kemarahan di mana-mana.
Iran Minta AS Tanggung Jawab
Bahkan Iran mengutuk serangan tersebut dan menyatakan segera melakukan balas dendam terhadap Israel.
Iran juga menuntut tanggung jawab AS, yang dianggapnya memberikan dukungan terhadap kejahatan rezim Zionis Israel di Lebanon selatan serta pembunuhan sekretaris jenderal Hizbullah Sayyed Hassan Nasrallah.
“Kami juga menegaskan tanggung jawab penuh dari pemerintah Amerika Serikat sebagai pendukung dan mitra dalam kejahatan internasional dan tindakan teroris rezim Zionis,” kata Kedubes Iran di Jakarta melalui pernyataan resmi, Selasa.
Kedubes Iran menyampaikan bahwa Israel kembali menunjukkan wajah jahatnya kepada dunia setelah menyerang Gaza selama sebelas bulan dengan terus-terusan melanggar hukum kemanusiaan internasional serta blokade bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Israel, kata Kedubes, kali ini menunjukkan kejahatannya melalui serangan roket ke daerah pemukiman di Lebanon Selatan dan pembunuhan Nasrallah pada 28 September 2024 dengan menggunakan bom bunker-buster seberat 5.000 pon pemberian AS.