TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2024 bakal segera digelar pada Selasa (5/11/2024) hari ini.
Jelang Pilpres AS 2024, banyak isu-isu penting yang seringkali diangkat oleh kedua capres, salah satunya adalah kebijakan luar negeri.
Capres dari Partai Demokrat, Kamala Harris dan capres dari Partai Republik, Donald Trump memiliki pandangan tersendiri mengenai kebijakan luar negeri AS.
Baik Kamala Harris dan Donald Trump memiliki pandangan sendiri bila membahas tentang perang Rusia-Ukraina, Gaza, bahkan China.
Lantas, bagaimana pandangan Kamala Harris dan Donald Trump tentang kebijakan luar negeri AS?
Perang Rusia-Ukraina
Dikutip dari Reuters, capres dari Partai Demokrat, Kamala Harris nampaknya mendukung penuh bantuan AS yang berkelanjutan kepada Ukraina saat memerangi invasi Rusia.
Bahkan, Harris kerap kali membantu Presiden Joe Biden untuk menggalang sekutu di Eropa untuk mendukung Ukraina.
Termasuk mengatur sanksi terhadap ekspor dan pejabat Rusia, dan telah bertemu tujuh kali dengan Presiden Ukraina, Vlodymyr Zelensky.
Namun, Harris sempat menyarankan agar Ukraina menyerahkan wilayahnya untuk mengamankan perdamaian sebagai "usulan untuk menyerah".
Sementara capres dari Partai Republik, Donald Trump telah menyerukan perdamaian yang dinegosiasikan antara Ukraina dan Rusia.
Baca juga: Inilah Cara-cara Donald Trump Merebut Kemenangan Pemilu AS 2024
Dalam negosiasi tersebut, menunjukkan bahwa sebagian wilayah Ukraina pada akhirnya dapat berada di bawah kendali Rusia.
Trump mengatakan tidak akan memberikan lebih banyak uang kepada Ukraina dan menentang undang-undang bantuan di Kongres.
Sejak itu, Trump menyatakan keamanan Ukraina merupakan kepentingan penting AS.
Bahkan, Trump gembar-gembor dapat mengakhiri perang antara Ukraina dan Rusia dalam waktu 24 jam, meski belum mengatakan caranya.
Perang di Gaza
Seperti Presiden Joe Biden, Kamala Harris telah menawarkan dukungan penuh bagi hak Israel untuk membela diri setelah serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas.
Namun, belakangan Kamala Harris semakin kritis terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu atas kegagalannya melindungi warga sipil di Gaza.
Harris nampak lebih banyak berempati kepada rakyat Palestina, tetapi belum bisa menawarkan perubahan substantif apa pun dalam kebijakan Biden.
Baca juga: Pilpres AS Hari Ini: Kapan Hasilnya Diumumkan? Bagaimana Kalau Hasilnya Seri?
Sementara Donald Trump, yang merupakan pendukung setia Israel, lebih banyak mengesampingkan nasib rakyat Palestina.
Selama jabatan presiden yang pernah ia emban, Trump sempat memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem dan mendukung Israel dalam perangnya melawan Hamas di Gaza.
Meski begitu, Trump seringkali menyuarakan perdamaian dan menyebut konflik Israel dengan Hamas harus segera diakhiri.
China
Membahas tentang pergerakan China, Kamala Harris telah menghabiskan waktu sebagai wakil presiden untuk membina hubungan di Asia dengan para pemimpin yang waspada terhadap kebangitan Tiongkok.
Tujuannya adalah untuk membentuk aliansi guna mencegah agresi yang meluas oleh China.
Harris diperkirakan akan melanjutkan pendekatan Presiden Joe Biden untuk mencoba memperlancar hubungan antara AS dan China, sambil memangkas ekspor chip buatan AS ke China.
Sementara itu, Donald Trump telah berjanji untuk menaikkan tarif impor dari China, yang berpotensi memicu perang dagang baru.
Trump berupaya melarang perusahaan China memiliki real estat dan infrastruktur AS di sektor energi dan teknologi.
Terkait Taiwan, Trump sempat membuka interaksi antara diplomat Amerika dan Taiwan saat menjabat sebagai presiden.
Baca juga: Proses Pemilihan Presiden AS yang Panjang dan Rumit
Aksi Trump ini telah membuat China marah.
Kemudian pada tahun 2023, Trump menolak untuk mengatakan apakah ia akan membela Taiwan jika China menginvasi.
Kebijakan Luar Negeri Pengaruhi Suara di Pilpres AS?
Bila melihat secara historis, isu domestik sangat memainkan peran yang lebih besar dalam Pemilu AS.
Isu-isu yang jauh dari rumah seperti kebijakan luar negeri, menurut pendapat umum, tidak menentukan hasil pemilu.
Seperti yang dikatakan oleh seorang penasihat menjelang pemilihan Bill Clinton pada tahun 1992.
"Ini masalah ekonomi, bodoh," kata penasihat tersebut.
Saat itu, Presiden George HW Bush baru saja mengusir pasukan Irak dari Kuwait, sebuah "kemenangan" kebijakan luar negeri yang tidak menjamin kemenangan Bush dalam pemilihan umum.
Sejak saat itu, gagasan tersebut telah menjadi pokok dalam siklus pemilu — tetapi para sejarawan dan analis memperingatkan bahwa hal itu hanya sebagian benar.
Baca juga: Daftar Artis yang Dukung Donald Trump di Pilpres AS 2024: Zachary Levi, Kanye West hingga Elon Musk
Dikutip dari Al Jazeera, mereka memperingatkan bahwa kebijakan luar negeri memang penting dalam pemilihan presiden AS, terutama pemilihan yang cukup ketat hingga dapat diputuskan dengan margin yang sangat tipis, seperti yang dijanjikan dalam pemilihan saat ini.
Dengan perang yang berkepanjangan di Ukraina dan perang yang meluas di Timur Tengah, yang keduanya telah menghabiskan banyak uang di AS dan semakin terlibat di dalamnya, serta masalah terkait kebijakan luar negeri seperti imigrasi dan perubahan iklim yang menjadi prioritas utama banyak pemilih, jelas bahwa ekonomi tidak akan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan bagaimana warga Amerika memilih bulan depan.
Meskipun ekonomi masih menjadi prioritas utama, jajak pendapat pemilih pada bulan September 2024 oleh Pew Research Center menemukan bahwa 62 persen pemilih mencantumkan kebijakan luar negeri sebagai isu yang sangat penting bagi mereka.
Isu kebijakan luar negeri menjadi perhatian utama khususnya bagi para pemilih Trump — 70 persen dari mereka — tetapi 54 persen pemilih Harris juga mencantumkan kebijakan luar negeri sebagai prioritas utama bagi mereka, sama banyaknya dengan mereka yang mencantumkan penunjukan Hakim Agung sebagai salah satu prioritas.
"Dalam persaingan yang sangat ketat seperti pertarungan tahun ini antara mantan Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden Kamala Harris, isu kebijakan luar negeri dapat memengaruhi keseimbangan," tulis Gregory Aftandilian, seorang pakar politik Timur Tengah dan kebijakan luar negeri AS.
"Secara khusus, pandangan pemilih tentang bagaimana para kandidat akan menangani perang Israel-Hamas-Hizbullah dan Rusia-Ukraina dapat menjadi penentu di negara-negara medan perang dan dengan demikian pemilihan umum," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)