TRIBUNNEWS.com - Utusan Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Riyad Mansour, menegaskan negaranya tidak akan hilang meski saat ini menghadapi serangan membabi-buta dari Israel.
Hal ini disampaikan Mansour dalam pidatonya di hadapan Dewan Keamanan PBB, Rabu (13/11/2024).
Dalam pidato yang sama, Mansour juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan segera demi mengatasi krisis kelaparan di Gaza.
"Mari kita merenung sejenak dan memahami, apa artinya Israel telah memutuskan dan menerapkan kelaparan sebagai metode perang untuk tujuan genosida dan untuk memajukan tujuan militernya," ujar Mansour, Rabu, dikutip dari IRNA.
"Semua yang kami peringatkan, semua yang disangkal Israel, sedang terjadi di depan mata kita," katanya.
Mansour lantas mengatakan Jalur Gaza saat ini berada di ambang pengosongan oleh Israel.
Baca juga: Menhan Baru Israel Tolak Gencatan Senjata, Beri Isyarat Gempur Habis Fasilitas Nuklir Iran
Ia mengutuk rencana Israel yang berniat mencaplok wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Meski negara Palestina menghadapi serangan mematikan dan pengusiran, Mansour menegaskan Palestina tidak akan hilang.
"Orang-orang Palestina kembali menghadapi kematian, perampasan, dan pengungsian, tetapi sekali lagi, kami tidak akan menghilang," katanya.
"Kami berakar di tanah, kami seperti pohon zaitun," tegas dia.
Israel Manfaatkan Kelaparan sebagai Senjata Perang
Sebelumnya, pada Selasa (12/11/2024), Afrika Selatan mengatakan bukti yang dibawanya ke hadapan Mahkamah Internasional (ICJ), menunjukkan Israel memanfaatkan kelaparan warga Palestina di Gaza sebagai senjata perang.
Afrika Selatan mengatakan, lewat fenomena kelaparan, Israel bertujuan mengurangi populasi Gaza.
"Bukti-bukti menunjukkan dengan jelas bahwa tindakan genosida Israel memiliki niat khusus untuk melakukan genosida di Jalur Gaza."
"Kegagalannya untuk mencegah genosida dan hasutan untuk melakukan genosida serta kegagalannya untuk menghukum mereka yang menghasut dan melakukan tindakan genosida," kata Menteri Luar Negeri Afrika Selatan, Ronald Lamola, di ibu kota Pretoria, Selasa, dilansir Anadolu.
Ia menekankan semua negara memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida.
Sebuah peringatan terperinci yang disampaikan Afrika Selatan kepada ICJ pada 28 Oktober, berisi bukti yang menunjukkan bagaimana Israel terus melanggar Konvensi Genosida 1948 dengan mendukung penghancuran warga Palestina yang tinggal di Gaza melalui pembunuhan fisik dan perampasan akses mereka terhadap bantuan kemanusiaan.
Hal ini menyebabkan kondisi kehidupan yang ditujukan pada penghancuran fisik warga Palestina, demikian pernyataan lebih lanjut.
Afrika Selatan juga mencatat, Israel mengabaikan dan menentang beberapa tindakan sementara yang diperintahkan oleh ICJ.
Lamola mengatakan Afrika Selatan mengutuk penyebaran disinformasi mengenai kasus genosida yang diajukannya terhadap Israe.
Ia menggarisbawahi upaya tersebut bertujuan untuk mengalihkan perhatian publik dari genosida yang sedang berlangsung di depan mata di Gaza.
Baca juga: Hizbullah Peringatkan Israel soal Invasi Darat Tahap Kedua di Lebanon, Sebut IDF Bakal Kecewa
Ia mengatakan Afrika Selatan pascaapartheid secara konsisten memperjuangkan hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina, termasuk bagi Israel untuk mengakhiri pendudukan tidak sahnya yang berupaya untuk menolak hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
"Pendekatan berprinsip kami berakar kuat pada pengalaman kami sendiri menghadapi kolonialisme dan apartheid, hukum internasional, dan piagam PBB yang tujuan utamanya adalah untuk melayani generasi mendatang dari malapetaka perang," urai Lamola.
Lamola mengatakan negaranya telah berulang kali mengusung perjuangan Palestina ke platform multilateral, memperkuat perjuangan tersebut ke panggung internasional.
Afrika Selatan mengajukan kasus genosida terhadap Israel di pengadilan yang berpusat di Den Haag pada akhir 2023.
Negara itu menuduh Israel, yang telah mengebom Gaza sejak Oktober lalu, gagal menegakkan komitmennya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.
Beberapa negara, termasuk Turki, Nikaragua, Palestina, Spanyol, Meksiko, Libya, dan Kolombia, telah bergabung dalam kasus tersebut, yang memulai sidang terbuka pada bulan Januari.
Mahkamah Agung pada Mei memerintahkan Israel untuk menghentikan serangannya di Kota Rafah, Gaza selatan.
Ini adalah ketiga kalinya panel yang beranggotakan 15 hakim mengeluarkan perintah awal yang berupaya mengendalikan jumlah korban tewas dan meringankan penderitaan kemanusiaan di daerah kantong yang diblokade itu, tempat jumlah korban telah melampaui 44.000 orang.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)