TRIBUNNEWS.COM - Sidang yang digelar Parlemen Selandia Baru pada hari Kamis (14/11/2024) diwarnai sebuah ketegangan dari anggota DPR yang mewakili suku Maori.
Hal ini terjadi setelah Hana-Rawhiti Maipi-Clarke, anggota parlemen dari Partai Te Pati Maori menggelar aksi protes dengan ritual Haka yang intimidatif.
Sosok anggota parlemen termuda di Selandia Baru yang masih berusia 22 tahun tersebut melakukan Haka sebagai bentuk protes terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Treaty Principles Bill yang kontroversial.
Geram dengan isi RUU tersebut, Maipi-Clarke pun merobek salinannya sembari melakukan ritual haka tradisional Maori.
Aksi protes ini pun memicu gelombang dukungan dari sesama anggota parlemen dan para penonton sidang.
Aksi protes yang direkam dalam video tersebut pun menjadi viral di Selandia Baru.
Dikutip dari NZ Herald, dalam video yang beredar tampak sikap tegas Maipi-Clarke menentang rancangan undang-undang yang dianggap banyak pihak sebagai penyebab perpecahan antar golongan masyarakat Selandia Baru.
Sidang yang awalnya dimaksudkan untuk membahas Treaty Principles Bill berubah menjadi kacau saat anggota parlemen lainnya serta penonton di galeri bergabung dengan Maipi-Clarke melakukan haka.
Ketua Parlemen, Gerry Brownlee, kemudian menghentikan sesi persidangan tersebut dan memerintahkan pengosongan ruangan.
Apa isi Treaty Principles Bill
RUU Treaty Principles Bill sendiri bisa dibilang sebagai kebijakan kontroversial di mata penduduk pribumi Selandia Baru khususnya mereka yang berasal dari Suku Maori.
Baca juga: Sensasi Naik Kendaraan Amfibi Militer Australia Hingga Melihat Dapur HMAS Adelaide, Ada Menu Nasi
Aturan baru ini bertujuan untuk menafsirkan ulang prinsip-prinsip Perjanjian Waitangi yang ditetapkan pada tahun 1840, yang merancang hubungan antara Mahkota Inggris dan suku-suku Maori.
Meskipun perjanjian tersebut menjanjikan hak kepada Maori untuk mempertahankan tanah mereka dan melindungi kepentingan mereka, rancangan undang-undang ini berupaya memperluas hak-hak tersebut kepada seluruh warga Selandia Baru.
Namun, para kritikus menilai langkah ini melemahkan kedaulatan Maori dan berpotensi memicu ketegangan rasial.
Meski rancangan undang-undang yang kontroversial ini dinilai memperdalam perpecahan dalam lanskap politik Selandia Baru. Perdana Menteri Christopher Luxon justru tetap mengizinkan partainya, New Zealand National Party (Nanihara), memberikan suara pendukung.
Dukungan Nanihara ini juga terjadi akibat kesepakatan politik dengan pemimpin Partai Asosiasi Konsumen dan Pembayar Pajak (ACT), David Seymour.
Penulis rancangan undang-undang tersebut yakni Ketua Partai ACT, David Seymour, pun buka suara terkait protes tersebut.
Seymour berargumen bahwa prinsip-prinsip perjanjian sebelumnya menciptakan perpecahan dengan memberikan hak khusus kepada Maori.
Karena itulah ia dan Partai ACT memajukan RUU tersebut ke parlemen.
“Tidak ada hukum atau pengadilan yang pernah mendefinisikan prinsip-prinsip ini secara tegas,” kata Seymour.
Namun demikian, para kritikus mengecam langkah ini sebagai oportunisme politik.
Willie Jackson, seorang anggota parlemen Maori yang berpengalaman, dengan keras mengecam Seymour di parlemen, menuduhnya berupaya memecah belah bangsa.
Rawiri Waititi, sesama anggota parlemen dari Te Pati Maori, memperingatkan bahwa mendukung rancangan undang-undang ini sama saja dengan berkontribusi pada kerusakan komunitas Maori.
Sidang mencapai puncaknya ketika aksi protes haka Maipi-Clarke dimulai.
Anggota parlemen oposisi dan penonton bergabung, menciptakan suara ritual Haka yang bergemuruh dan menghentikan jalannya sidang.
Upaya Ketua Gerry Brownlee untuk memulihkan ketertiban gagal, yang akhirnya berujung pada penangguhan Maipi-Clarke dan dua anggota parlemen lainnya untuk hari itu.
Siaran langsung sidang tersebut diputus ketika para penentang mendekati kursi Seymour, mencerminkan ketegangan luar biasa yang mengelilingi rancangan undang-undang tersebut.
(Tribunnews.com/Bobby)