"Tidak ada kata bebas dalam statement Presiden Marcos itu. ‘Bring her back to the Philippines', artinya membawa dia kembali ke Filipina," kata Yusril.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia diketahui telah menerima permohonan resmi dari pemerintah Filipina terkait pemindahan Mary Jane.
Namun, proses pemindahan itu baru dapat dilakukan jika syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah Indonesia dipenuhi, sebagai berikut:
- Mengakui dan menghormati putusan final pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya yang terbukti melakukan tindak pidana di wilayah negara Indonesia.
- Napi tersebut dikembalikan ke negara asal untuk menjalani sisa hukuman di sana sesuai putusan pengadilan Indonesia.
- Biaya pemindahan dan pengamanan selama perjalanan menjadi tanggungan negara yang bersangkutan.
"Bahwa setelah kembali ke negaranya dan menjalani hukuman di sana, kewenangan pembinaan terhadap napi tersebut beralih menjadi kewenangan negaranya," kata Yusril.
Soal pemberian keringanan hukuman berupa remisi, grasi dan sejenisnya, Yusril mengatakan, hal itu menjadi kewenangan kepala negara yang bersangkutan.
"Dalam kasus Mary Jane, yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia, mungkin saja Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur hidup.
"Mengingat pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana Filipina, maka langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari presiden Filipina," kata Yusril.
Sementara itu, beberapa tahun lalu, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) diketahui pernah menolak permohonan grasi Mary Jane, baik yang diajukan oleh pribadi, maupun diajukan oleh pemerintah Filipina.
"Presiden kita sejak lama konsisten untuk tidak memberikan grasi kepada napi kasus narkotika," ujar Yusril.
(Tribunnews.com/Rifqah/Ilham Rian/Hasanudin Aco/Garudea) (Kompas.com)