TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Iran diduga tengah bersiap melakukan serangan balasan ke Israel merespons "aksi 26 Oktober" terhadap lokasi militer negara tersebut.
Hal ini diungkapkan Ali Larijani, seorang penasihat Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei pada hari Minggu kemarin waktu setempat.
"Pejabat militer tengah merencanakan berbagai strategi untuk menanggapi Israel," kata Ali Larijani dalam sebuah wawancara dengan Tasnim News yang berafiliasi dengan IRGC.
Iran telah mengancam akan membalas Israel atas serangan udara tersebut, yang diklaim pejabat Israel dan AS, melumpuhkan tiga sistem rudal pertahanan udara S-300 terakhir yang disediakan Rusia dan membuat negara itu "telanjang".
Namun sejak saat itu, Israel telah meningkatkan tingkat kewaspadaannya dan mengerahkan sistem pertahanan udara THAAD Amerika, mengantisipasi respons Iran.
Tel Aviv tak mau dipermalukan sebagaimana serangan Iran ke sejumlah pangkalan udara mereka yang tak mampu dicegat sistem arhanud Iron Dome hingga David Sling.
Masih segar dalam ingatan, Oktober silam, Iran menggelar operasi yang diberi nama Operation True Promise-II atau Operasi Janji Sejati II.
Mereka menyerang Israel dengan rudal selama beberapa jam.
Rekaman yang beredar di media sosial menunjukkan para pemukim Israel panik bersembunyi di tempat perlindungan bawah tanah saat rudal menghujani wilayah pendudukan.
Rentetan rudal tersebut menimbulkan kerusakan besar pada fasilitas militer dan intelijen penting di wilayah pendudukan.
Kembali ke Larijani, ia mengatakan, pejabat terkait di militer dan pemerintah Iran tengah mempersiapkan langkah-langkah untuk menunjukkan respons yang tepat terhadap agresi Israel baru-baru ini terhadap Iran.
“Itu (memulihkan pencegahan) adalah isu utama. Otoritas terkait tengah mengkaji isu tersebut dengan saksama untuk memastikan bahwa respons Iran (di masa mendatang) terhadap Israel memenuhi spesifikasi ini,” imbuhnya.
Penasihat senior tersebut menekankan bahwa “ini adalah isu yang harus kita biarkan pejabat militer terkait mengambil keputusan yang tepat. Saya tahu bahwa mereka tengah memikirkan berbagai cara untuk mencapai (keputusan) itu.”
Larijani mengatakan isu tersebut “memerlukan pertimbangan yang cermat dan kerahasiaan karena terkait dengan keamanan nasional Iran.”
Pernyataan Larijani muncul tak lama setelah jasad seorang rabi Israel ditemukan di Uni Emirat Arab setelah penculikannya oleh kelompok yang diduga terkait dengan Iran, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa pembunuhannya mungkin terkait dengan rencana Teheran untuk membalas serangan Israel.
'Perang bayangan' Washington terhadap Iran
Dalam wawancaranya pada hari Minggu, Larijani menuduh Amerika Serikat mengatur tindakan Israel di Timur Tengah, termasuk operasinya terhadap Iran.
"Israel mengandalkan dukungan Amerika Serikat ketika merencanakan operasinya terhadap Iran, dengan banyak sumber daya dan pesawat AS yang beroperasi di wilayah tersebut untuk membantu mereka," katanya.
"Dapat dikatakan dengan pasti bahwa Amerika mengatur berbagai peristiwa di sini. Tetapi mengapa mereka melakukan ini? Karena mereka lebih suka terlibat dalam "perang bayangan", tidak terlihat sambil mendorong pihak lain ke garis depan," kata penasihat senior Khamenei.
Ia juga meminta pemerintahan Donald Trump yang akan datang untuk menghentikan dukungannya terhadap Israel dan mencegah apa yang disebutnya sebagai pencorengan citra AS di wilayah tersebut.
"Tampaknya Amerika Serikat dan kepemimpinannya saat ini, yang telah mengalami perubahan, perlu mendapatkan pemahaman yang tepat tentang situasi tersebut. Para pejabat rezim Zionis (Israel) menenggelamkan diri mereka sendiri dan menyeret Amerika bersama mereka, mencoreng reputasi AS di wilayah tersebut," katanya.
Pemerintahan Trump yang baru berencana untuk menghidupkan kembali kebijakan "tekanan maksimum" untuk "membangkrutkan" kapasitas Iran dalam mendukung apa yang disebut Poros Perlawanan dan mengejar pengembangan nuklir, The Financial Times melaporkan minggu lalu.
Tim Trump sedang mempersiapkan perintah eksekutif untuk hari pertamanya menjabat yang akan memperketat sanksi yang ada dan memperkenalkan sanksi baru terhadap ekspor minyak Iran, kata laporan FT mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya.
Ben Gvir Tolak Gencatan Senjata dengan Hizbullah
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, menegaskan penolakannya terhadap gencatan senjata antara Israel dan Lebanon.
Dalam pernyataannya, politikus ekstrem sayap kanan tersebut menyebut kesepakatan tersebut sebagai "kesalahan besar" dan mendesak pemerintah untuk melanjutkan perjuangan hingga meraih kemenangan mutlak.
"Kesepakatan dengan Lebanon adalah kesalahan besar. Ini adalah kesempatan historis yang terlewat untuk memberantas Hizbullah," ungkap Ben Gvir melalui akun X-nya.
Pernyataan Ben Gvir muncul setelah laporan media Israel yang menyebutkan bahwa kesepakatan gencatan senjata dengan Lebanon mungkin tercapai dalam waktu dekat.
Menurut KAN dan Yedioth Ahronoth, telah ada lampu hijau awal untuk melanjutkan perundingan.
Sementara itu, Israel mengeluarkan ancaman kepada Lebanon, memperingatkan bahwa jika kesepakatan tidak tercapai, target-target Lebanon akan diserang.
Namun, sejauh ini, Israel belum melakukan serangan terhadap target-target Lebanon dan berusaha membedakan antara sasaran Hizbullah dan negara Lebanon.
Tekanan AS?
Amos Hochstein, utusan senior Gedung Putih, yang mengunjungi Israel setelah perjalanan ke Beirut, memberi tahu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa ia akan menarik diri dari pembicaraan jika Israel tidak memberikan respons positif terhadap upaya gencatan senjata yang dipimpin AS.
Menurut laporan, Netanyahu telah setuju dengan proposal gencatan senjata AS, tetapi masih memerlukan persetujuan dari kabinetnya.
Negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Lebanon berfokus pada pelaksanaan Resolusi PBB 1701, yang meminta penarikan Hizbullah dari wilayah di sebelah selatan Sungai Litani dan penarikan pasukan Israel dari selatan Lebanon.
Beirut dilaporkan setuju untuk membentuk komite internasional guna mengawasi pelaksanaan resolusi tersebut.
Namun, Hizbullah dan negara Lebanon menegaskan tidak akan menerima kesepakatan yang melanggar kedaulatan Lebanon.
Laporan-laporan ini muncul setelah serangkaian serangan roket, misil, dan drone besar-besaran oleh Hizbullah terhadap situs militer dan pemukiman di Israel, termasuk di wilayah Tel Aviv.
Serangan tersebut menyebabkan sejumlah korban dan kerusakan berat di daerah yang terkena.
Dengan situasi yang semakin tegang, Ben Gvir menekankan bahwa Israel harus terus berjuang melawan Hizbullah, terutama saat kelompok tersebut tampak menginginkan gencatan senjata.
"Saat Hizbullah terdesak dan menginginkan gencatan senjata, adalah haram untuk berhenti," tambahnya.