TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengungkapkan kesiapannya untuk melaksanakan kesepakatan gencatan senjata dengan Hizbullah di Lebanon.
Perundingan gencatan senjata dilakukan pada Selasa (26/11/2024) kemarin.
Dalam pidato yang disampaikan setelah kesepakatan tercapai, Netanyahu menyatakan bahwa Hizbullah bukanlah kelompok yang sama yang melancarkan perang melawan Israel beberapa dekade lalu.
"Kami telah membuat mereka mundur," ujarnya, dikutip dari CNN.
Ia juga mengeklaim bahwa pasukan Israel berhasil membunuh sebagian besar pimpinan Hizbullah dan menghancurkan infrastruktur kelompok tersebut.
Netanyahu menekankan komitmennya untuk mengembalikan keluarga-keluarga di Israel utara ke rumah mereka, mengingat daerah tersebut menjadi sasaran utama selama konflik.
"Kami mampu mencapai banyak tujuan kami selama perang ini," tambahnya.
Hizbullah memerangi Israel sebagai bentuk solidaritas untuk Palestina yang digempur Tel viv sejak Oktober 2023 kemarin.
Dengan kesepakatan, diharapkan dapat mengakhiri konflik berkepanjangan antara Israel dan Hizbullah, yang telah menyebabkan banyak korban jiwa.
Kesepakatan gencatan senjata ini membuka jalan bagi penarikan pasukan Israel dari Lebanon selatan dan mengharuskan tentara Lebanon untuk dikerahkan di wilayah tersebut dalam waktu 60 hari.
Menurut pejabat, kesepakatan ini diharapkan mulai berlaku pada Rabu (27/11/2024).
Baca juga: Maksud Tersembunyi Netanyahu di Balik Gencatan Senjata Israel dan Hizbullah, Hamas akan Terisolasi
Akan tetapi, kabinet Netanyahu harus menyetujui kesepakatan gencatan senjata ini lebih dulu.
Bakal Merespons Tegas Pelanggaran Gencatan Senjata
Netanyahu juga menggarisbawahi bahwa Israel akan siap memberikan respons tegas terhadap setiap pelanggaran oleh Hizbullah.
"Kami akan menegakkan kesepakatan dan menanggapi dengan tegas setiap pelanggaran," tegasnya.
Meskipun terdapat terobosan diplomatik, ketegangan masih tinggi.
Sehari sebelum pengumuman gencatan senjata, Israel melakukan serangan udara.
Eskalasi tersebut menewaskan setidaknya 18 orang di Lebanon.
Situasi ini menunjukkan bahwa konflik masih berlanjut meskipun ada upaya untuk meredakan ketegangan.
Menunggu Pengumuman Resmi Gencatan Senjata
Hassan Fadlallah, seorang anggota parlemen Hizbullah, memperingatkan bahwa Lebanon menghadapi masa yang berbahaya dan sensitif sambil menunggu pengumuman resmi gencatan senjata.
"Kita semua berharap agar gencatan senjata ini dapat mengurangi kekerasan yang terjadi," katanya.
Perjanjian gencatan senjata di Lebanon tidak serta merta mempercepat kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera di Gaza.
Konflik di Gaza tetap menjadi isu yang kompleks dan terpisah dari situasi di Lebanon.
Gencatan senjata ini lebih diarahkan untuk mengakhiri pertempuran di perbatasan antara Israel dan Lebanon.
Menteri Luar Negeri Lebanon, Abdallah Bou Habib, mengungkapkan bahwa tentara Lebanon akan siap mengerahkan setidaknya 5.000 tentara di Lebanon selatan saat pasukan Israel mundur.
Bou Habib juga mencatat bahwa Amerika Serikat (AS) dapat berperan dalam membangun kembali infrastruktur yang hancur akibat serangan Israel.
PBB siap dukung kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Antonio Guterres mengaku siap mendukung kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah.
Juru bicaranya, Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan mengungkapkan Guterres berharap perjanjian ini dapat mengakhiri kekerasan, kehancuran, dan penderitaan yang dialami rakyat (Israel dan Lebanon).
"Sekretaris Jenderal mendesak para pihak untuk sepenuhnya menghormati dan segera melaksanakan semua komitmen yang dibuat berdasarkan perjanjian ini," tambah Dujarric, dikutip dari Al Jazeera.
Guterres mengatakan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon, UNIFIL, dan Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon siap mendukung pelaksanaan perjanjian dan mendesak kedua pihak untuk sepenuhnya melaksanakan resolusi Dewan Keamanan 1701.
Resolusi tahun 2006 menyerukan angkatan bersenjata Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB menjadi satu-satunya kehadiran militer antara perbatasan dengan Israel dan Sungai Litani, sekitar 30 km (18 mil) di utara.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)