TRIBUNNEWS.COM - Suriah, selama ini, menjadi pangkal kekuatan bagi Rusia dalam memperluas pengaruhnya di Timur Tengah.
Perjanjian sewa pangkalan militer yang ditandatangani pada tahun 2017 memberikan Rusia akses untuk menjalankan operasi militer di negara tersebut selama 49 tahun.
Namun, kini, setelah tumbangnya pemerintahan sekutu mereka, mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad, kehadiran Rusia di Suriah menghadapi tantangan serius.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Berikut adalah tiga skenario yang mungkin dihadapi militer Rusia di Suriah.
1. Apakah Rusia Akan Mengurangi Jejak Militer di Suriah?
Setelah kepergian Assad, Rusia dilaporkan telah membuat kesepakatan dengan otoritas sementara di Suriah yang dipimpin oleh gerakan Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
HTS menjamin keamanan pangkalan militer Rusia dan tidak memiliki rencana untuk menyerang.
Namun, ketidakpastian masih menggelayuti masa depan kehadiran militer Rusia.
Anton Mardasov, peneliti nonresiden di Middle East Institute, mengungkapkan bahwa saat ini, beberapa peralatan militer Rusia sedang ditarik dengan cepat ke wilayah pesisir atau diangkut dari tempat terpencil.
Apakah pergerakan ini menunjukkan bahwa Rusia mulai mengurangi jejaknya di Suriah?
Meski saat ini belum ada masalah terkait evakuasi penuh pangkalan, pemerintahan baru Suriah yang mungkin terbentuk setelah Maret 2025 akan memiliki kesempatan untuk mengevaluasi kembali perjanjian yang ada dengan Moskow.
Baca juga: Travis Timmerman Dibebaskan setelah 7 Bulan Mendekam di Penjara Suriah
2. Dapatkah Rusia Membuat Perjanjian Baru?
Rusia pada tahun 2017 menandatangani perjanjian sewa selama 49 tahun dengan rezim Assad.
Namun, situasi politik yang berubah dengan cepat membuat masa depan perjanjian ini dipertanyakan.
Ben Dubow, peneliti senior di CEPA, berpendapat bahwa jika Damaskus memerintahkan Rusia untuk pergi, Moskow akan kesulitan mempertahankan posisinya.