TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Jaksa dalam kasus dugaan korupsi frekuensi 2,1 Ghz atau 3G PT Indosat-M2 telah salah memahami aturan hukum, terutama hukum administrasi negara.
Hal ini diutarakan Pakar hukum administrasi negara Yusril Ihza Mahendra Selasa (11/6/2013).” Jaksa dalam kasus itu tidak pernah memperhatikan aspek administrasi negara terutama undang-undang telekomunikasi. Dia bilang, bisnis telekomunikasi sudah memiliki aturan tersendiri sehingga tidak bisa begitu saja ditarik ke ranah pidana. "Jaksa tidak perhatikan aspek administrasi negara, telekomunikasi diatur UU tersendiri," t.
Dia menjelaskan, frekuensi telekomunikasi yang dipegang Indosat kemudian diberikan kepada Indosat M2 sudah benar dan tidak menyalahi aturan lantaran Indosat mengikuti proses tender sehingga memiliki hak memakai frekuensi itu untuk kemudian disewakan ke pihak lain dalam hal ini IM2 sebagai penyelenggara jasa internet.
"Kalau diberikan frekuensi tertentu sebagai satu perusahaan, dia kerjasama dengan pihak lain, itu sifatnya bukan menyerahkan tapi dia melakukan satu kerjasama, memanfaatkan frekuensi itu," tandasnya.
Sebagai pemegang frekuensi, Indosat sudah membayar PNBP sehingga penyewa frekuensi itu tak perlu membayar lagi. Logika sederhananya, Yusril menjelaskan, seperti orang yang menyewa rumah kemudian dia tak dibebankan untuk bayar PBB cukup si pemilik saja.
"Penerimaan negara bukan pajak itu tidak serta-merta dapat ditagih. Itu juga baru dapat ditagih jika sudah ditetapkan peraturan pemerintah. PP soal frekuensi juga belum ada.� Kalau PP belum dikeluarkan, sementatara Indosat sendiri� sudah dikenakan PNBP, maka IM-2 tidak perlu bayar. Begitu frekuensi diberikan, Indosat punya hak ekslusif.� Jadi kalau dikatakan IM2 tidak bayar PNBP memang tidak perlu bayar. Jika Indosat dan IM2 bayar PNBP justru akan jadi dobel dan malah dipertanyakan," kata Yusril.
Dia menegaskan, kasus Indosat memiliki kemiripan dengan Sisminbakum. Karena akses fee Sisminbakum bukan PNBP, tidak ada acuan dari peraturan pemerintah, Alhasil, uang itu tetap milik swasta.
Sebelumnya, Pakar hukum mengecam cara Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengusut kasus dugaan korupsi frekuensi 2,1 GHz atau 3G PT Indosat-IM2 dengan mengajukan tuntutan hanya berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Jaksa pun dinilai sembrono dalam mencari kebenaran di hadapan hakim.
"Tuntutan kacau, ini kan permasalahan teknis," tandas Erman Rajaguguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dengan hanya menggunakan BAP, JPU dinilai telah mengabaikan para saksi ahli yang sudah memaparkan keilmuan teknis dari A hingga Z dipersidangan. Erman mengingatkan, jaksa punya latar belakang ilmu sebagai sarjana hukum, tidak kompeten jika hanya menggunakan logikanya sendiri dalam mengungkap kasus di bidang teknologi.
"Sarjana hukum jangan sok tahu, mereka harusnya ikut apa kata sarjana teknologi, kerjasama Indosat dan IM2 itu secara teknologi sudah benar, dalam kerjasama itu IM2 menyewa jaringan Indosat, dan frekuensi secara teknologi sudah termasuk dalam jaringan, jadi apa yang salah? " ujarnya.
Sementara itu Indar merasa ada yang janggal dalam tuntutan tersebut. Indar menilai jaksa sudah buru-buru menggunakan asas praduga bersalah sejak awal sehingga apapun hasilnya Jaksa tetap menghukum.
"Ada sidang tapi seperti tak pernah ada sidang bila jaksa akhirnya memakai bukti di BAP. Semua tahu kalau BAP itu di bawah tekanan. Lalu apa gunanya persidangan selama enam bulan ini bila akhirnya jaksa tidak memakai fakta-fakta yang ada di dalamnya," keluhnya.**