TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Pelanggaran hak cipta, seperti pembajakan software, masih banyak terjadi di Indonesia.
Menurut riset International Data Corporation (IDC) pada 2012, Indonesia menempati posisi 11 dunia peredaran software bajakan. Berdasarkan data IDC, jumlah software bajakan yang beredar di Indonesia sekitar 86 persen.
"Tentu itu menimbulkan kerugian yang besar. Berdasarkan riset IDC, perkiraan kerugian akibat pembajakan tersebut senilai 1,46 miliar dolar Amerika Serikat (AS), atau sekitar Rp 12,8 triliun," ungkap Maya Ghita Gunadi, Kuasa Hukum Business Software Association (BSA), di Jalan Purnawarman Bandung, Rabu (19/6/2013).
Ia mengatakan, mengacu pada data riset IDC, nilai kerugian pada 2012 lebih tinggi sekitar 10 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Menurut Maya, efek peredaran produk software bajakan, membuat penjualan software legal di Tanah Air hanya sekitar 239 juta dolar AS.
Maya mengatakan, pada awal Juni 2013, bersama Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, pihaknya menemukan 439 unit compact disc (CD) foftware tidak berlisensi alias ilegal atau bajakan, dari tiga toko CD.
Selain itu, sambungnya, pihaknya pun menemukan lima laptop hardisk loading dari tiga toko komputer dan satu toko CD yang juga tidak berlisensi.
Maya memaparkan, berdasarkan studi forensik di ASEAN pada 2013, terdapat sekitar 59,09 persen sampel hard disk drive (HDD) terinfeksi malware. Untuk DVD software dalam bentuk cakram optik, 100 persen terinfeksi malware (pembajakan).
"Penemuan itu pada sampling sebanyak 216 komputer bermerek baru yang menggunakan piranti bajakan yang pembeliannya di lima negara ASEAN, satu di antaranya di Indonesia," jelasnya.
Menurut Maya, penginstalan program bajakan pada laptop dan PC pun berlangsung di Jawa Barat, misalnya di Kota Bandung.
"Kami mengimbau para pedagang untuk tidak menjual PC atau laptop kosong alias yang belum terinstal. Soalnya, penjualan laptop atau PC kosong dapat memicu pemasangan sistem bajakan oleh pembelinya," kata Maya. (*)