TRIBUNNEWS.COM.JAKAKARTA- Perlu kajian dan telaahan ilmiah terkait kondisi udara penyebab awan Columnimbus atau awan badai terbentuk. Awan Cb ini dipastikan dapat mengganggu dan menghambat transportasi udara dan laut.
"Hal ini perlu diketengahkan, terlebih mulai dari pencarian hingga evakuasi korban dan pengangkatan bangkai pesawat terkendala cuaca buruk yang berlanjut dengan adukan di perairan yang memperpendek jarak penglihatan di dasar laut," kata Prof. Paulus Agus Winarso, dosen Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Kamis (15/1/2015).
Dalam Seminar Nasional 'Meteorologi untuk Penerbangan' bertema 'Kajian Akademis Informasi Cuaca untuk Keselamatan Penerbangan'(BMKG), di kampus Akademi Meteorologi dan Geofisika, ini dikatakan untuk mendapatkan hasil kajian tersebut metologi yang digunakan dengan mengumpulkan berbagai teori yang berkaitan dengan pembentukan awan Cb dalam lingkup skala regional dan global.
"Dalam perkembangan diperoleh gambaran yang berasal dari teori peredaran udara umum dalam arah ekuator-kutub. Pertemuan aliran udara atau ITCZ belahan bumi selatan dan belahan bumi utara selain menyebabkan udara naik, juga merupakan tempat tekanan udara yang rendah karena mengikuti gerak garis edar matahari," papar anggota Komite Nasional Keselamatan Terbang (KNKT) ini.
Hasil kajian menunjukkan adanya indikasi ITCZ mulai giat akhir Desember 2014 atau saat pesawat melintas di sekitar Selat Karimata sesuai dengan lokasi awan Cb. Kondisi ini didukung dengan naiknya tekanan udara daratan Asia yang mengindikasikan dorongan angin kian giat dan seruakan dingin yang giatkan adveksi untuk menggantikan proses konveksi dalam skala yang lebih luas.
"Kondisi yang seiring dengan teori pembentukan awan Cb dalam skala luas akan dapat berkembang sesuai dengan situasi dan dinamika kondisi udara yang terjadi untuk masa depan," ujarnya.