TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR M Ali Tahir menduga ada pelanggaran prosedur di kamar operasi ketika pasien diambil tindakan di RS Siloam Karawaci, yang mengakibatkan dua pasien meninggal setelah disuntik anestesi.
"Kenapa kok biasanya 4 ml tiba-tiba jadi 5 ml. Kan persoalannya disitu, datang darimana? Sementara dari produsennya tidak memasok yang 5 ml, jadi pertanyaannya siapa yang menyuplai saat proses di kamar operasi dan anestesi?," ujar Ali Tahir saat Rapat Dengar Pendapat dengan Menkes, BPOM, Dirut RS Siloam, dan Dirut PT Kalbe Farma, di Gedung DPR RI, Rabu (18/2).
Ali juga mengatakan, pihaknya akan mendalami dugaan terjadinya malpraktik di RS Siloam Karawaci. Hal ini menurutnya bukan kejadian pertama kali di rumah sakit tersebut. "Itu salah satu yang akan kita dalami. Banyak rumah sakit yang mengatasnamakan internasional, tetapi praktiknya juga penanganannya tidak maksimal. Jangan sampai malpraktik muncul lagi, kemudian menimbulkan kerugian pada pasien dan masyarakat," jelas politisi PAN ini.
Anggota Komisi IX DPR RI Abidin Fikri mengatakan, dari keseluruhan produksi Kalbe Farma Buvanest 0,5 persen Heavy 4 ml, ternyata ukuran 5 ml hanya ada di RS Siloam dan berjumlah 4 ampul, "Yang harus diinvestigasi, itu darimana?," ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan ini menduga kesalahan terjadi di RS Siloam Karawaci. Menurutnya ada prosedur yang kurang ketat dalam penanganan pasien di rumah sakit tersebut. Apalagi, menurut penjelasan Dirut RS Siloam, pasien mengalami kejang-kejang setelah operasi selesai dilakukan, yakni ketika ingin disadarkan dari pembiusan.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan tidak ada korban lain terkait kasus dugaan tertukarnya isi obat anestesi Buvanest Spinal dengan asam traneksamat produksi PT Kalbe Farma. Sejauh ini, kasus tersebut hanya terjadi pada meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang.
“Kalau ada laporannya kepada kami tentu kami bisa mengetahuinya, tapi tidak ada laporan. Jadi hanya dua kasus ini,” ujar Menteri Kesehatan Nila F Moeloek di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Rabu (18/2/2015).
Hal senada dikatakan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes Akmal Taher. Menurut Akmal, dokter maupun pihak rumah sakit pasti akan langsung melaporkan jika menemui kasus yang sama atas pemakaian Buvanest Spinal sebagai obat bius untuk pasien.
“Kalau dalam keadaan seperti ini, kalau ada terjadi biasanya mereka akan cepat melaporkan. Tapi nyatanya tidak ada sama sekali (yang melaporkan),” ujar Akmal.
Akmal mengatakan, pihak rumah sakit dan dokter di seluruh Indonesia pun telah diminta untuk menghentikan penggunaan Buvanest Spinal kepada pasien.