TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pneumonia saat ini masih menjadi penyebab kematian utama pada bayi di bawah usia 2 tahun.
Data WHO tahun 2015 tercatat 5,9 juta kematian balita atau 15% dalam satu tahun, akibat pneumonia.
Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan kematian akibat pneumonia tertinggi yakni setidaknya 2-3 anak meninggal setiap jam.
Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi pneumonia memang sudah menurun tetapi insiden masih 1,8% atau 24 balita meninggal setiap 4 jam karena pneumonia.
Pneumonia adalah radang paru yang dapat disebabkan virus atau bakteri, menyebabkan kerusakan jaringan paru terutama pada bagian paru tempat bertukarnya udara.
Baca: ASI Membuat Anak Tak Gampang Terinfeksi Bakteri Penyebab Pneumonia
Dr. Nastiti Kaswandani, spesialis anak konsultasn respirasi dari FKUI/RSCM menjelaskan, sebenarnya orangtua dapat dengan mudah mengenali gejala pneumonia.
"Gejalanya yang khas, yakni ada sesak napas dan ada tarikan dinding dada ke dalam,” jelasnya dalam acara diskusi media bertema “Harapan Baru Eradikasi Pneumonia di Indonesia”, yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta, 10 Maret 2017.
Sesak napas muncul karena pemasukan oksigen berkurang.
Pada kondisi pneumonia berat dapat menyebabkan kematian akibat kekurangan oksigen mencapai otak dan jantung.
Saat ini angka kematian tertinggi di bawah usia 2 tahun, atau dua tahun pertama kehidupan dan makin muda usia bayi, maka semakin berisiko karena bayi baru lahir memiliki daya tahan tubuh rendah dan sistem kekebalan belum belum berkembang sempurna.
Baca: Setelah Diare, Pneumonia Jadi Penyebab Kematian Nomor 2 bagi Balita
Meskipun dapat disebabkan infeksi virus, sekitar 50% penyebab pneumonia adalah infeksi bakteri Streptococcus pneumokokus dan kedua terbanyak disebabkan bakteri Haemophilus influenza tipe b.
Penularan pneumonia tersering melalui udara (bersin, batuk atau berbicara) dan kualitas udara yang buruk meningkatkan risiko pneumonia.
"Udara dalam rumah juga menjadi faktor risiko, yaitu ruangan dengan asap rokok, bahan bakar rumah tangga atau obat nyamuk," katanya.
Untuk menurunkan insiden pneumonia Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menjalankan 3 langkah yaitu Protect, Prevent dan Treat. Perlindungan dilakukan dengan menyediakan lingkungan sehat untuk bayi, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, gizi yang seimbang, mencegah bayi dengan berat badan rendah dan menurunkan polusi udara.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan vaksinasi lengkap, terutama vaksin campak, pertusis dan dan vaksin pneumonia. IDAI juga sudah mengeluarkan rekomendasi pencegahan pneumonia dengan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, imunisasi lengkap, pencegahan dan tata laksanan pneumonia, dan rekomendasi dalam menghadapi kabut asap.
Imunisasi yang ada kaitan dengan pneumonia adalah BCG, DTP, Hib dan PCV, campak, influenza dan MMR. “Dari vaksin-vaskin tersebut, ada dua vaksin yang belum dicover pemerintah yaitu PCV dan influenza,” jelas dr. Nastiti.
Baca: Kabut Asap di Palangkaraya Sebabkan Pneumonia dan Diare pada Banyak Anak
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan, Dr. Wiendra Woworuntu M.Kes menambahkan, pneumonia saat ini dijuluki forgotten pandemic atau the forgotten killer of children karena tidak mudah menemukan balita dengan pneumonia.
“Umumnya masyarakat menganggap sebagai batuk biasa. Sukar bagi ibu untuk mengetahui anaknya menderita pneumonia kecuali kondisinya telah parah, antara lain ditunjukkan dengan sesak napas berat. Harus diingat bahwa perjalanan penyakit dari batuk menjadi pneumonia berlangsung cepat sehingga seringkali tidak tertolong,” jelas Wiendra.
Program Kementerian Kesehatan dalam pengendalian pneumonia di Indonesia antara lain dengan penemuan kasus dan tatalaksana kasus pneumonia balita di puskesmas dan jaringannya, dan menggalakkan upaya promotif dan preventif tentang pencegahan dan pengendalian pneumonia termasuk imunisasi.
Demontrasi Vaksin Pneumonia di Lombok
Bulan Oktober 2017, Kementerian Kesehatan akan melaksanakan demontsrasi program imunisasi pneumonia di tiga kabupaten di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Rencana ini merupakan bagian dari pemberian vaksin baru secara nasional, yaitu vaksin polio inaktif (IPV), rubella (MR), rotavirus, Japanese ensefalitis dan pneumokokus (PCV).
“Vaksin pneumokokus untuk mencegah pneumonia akan digunakan di Indonesia,” ujar Wiendra.
Vaksin memang bukan satu-satunya cara mengurangi kejadian pneumonia, tetapi imunisasi adalah salah satu upaya yang cukup efektif mengurangi insiden pneumonia.
Demontsrasi vaksin pneumokokus rencananya akan dilakukan di Lombok Barat dan Lombok Timur menggunakan vaksin PCV 13.
Sasarannya adalah bayi usia 2 bulan,3 bulan dan 12 bulan dengan jumlah sasaran di Kabupaten Lombok Timur 25.870 bayi, Kabupaten Lombok Barat 13.527 bayi sehingga total yang divaksin adalah 39.397 bayi.
Ditambahkan Wiendra, program ini merupakan langkah awal sebelum menjadikan vaksin pneumonia sebagai program vaksin nasional.
Tahapnya masih sangat panjang di mana setelah dilakukan demonstrasi ini kemudian dilanjutkan surveilan selama 3 tahun.
“Program vasksinasi pneumokokus secara nasional baru bisa dilakukan secara nasional jika sudah ada ketersediaan vaksinnya. Umumnya membutuhkan waktu lama. Dengan pilot project ini tidak dengan serta merta akan menjadi program nasional,” ujar Wiendra.
Ketersediaan vaksin menjadi tantangan yang masih dipikirkan pemerintah. Perusahaan vaksin nasional, Biofarma, diharapkan dapat segera akan menyediakan dan memproduksi vaksin pneumokokus. Sementara PCV 13 ini masih menggunakan produk impor dengan akses khusus.
Wiji Johar Santoso dari LSM Mitra Samya di Lombok menyambut baik demonstrasi vaksin pneumonia di Kabupaten Lombok.
Saat ini angka kematian bayi di Pulau Lombok sangat tinggi, menyumbang kontribusi terbesar kematian bayi (76,73%) di tahun 2014.
Angka ini merupakan akumulasi dari 5 kabupaten kota di Pulau Lombok dengan insiden tertinggi di Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat.
Pulau Lombok beberapa kali dijadikan tempat penelitian pneumonia. Di antaranya penelitian oleh Dr. Soewignyo di tahun 1997. Dari 1.200 sampel anak sehat, sebesar 48% terinfeksi kuman Streptococcus pneumonia.
Kemudian hasil peneliti Prof. DR. dr. Sri Rezeki Hadinegoro SpA (K) tahun 2012 ditemukan dari 1200 sampel, terdapat 33% yang terinfeksi S. pneumonia.
Penyebab tingginya kasus pneumonia di Kabupaten Lombok di antaranya masalah lingkungan dan perilaku masyarakat.
“Selain faktor lingkungan yang padat dan kumuh, di Lombok tepatnya di Kekalik, menjadi sentra industri pembuatan tempe dan tahu di mana pembakarannnya menggunakan bahan bakar ban bekas, sehingga asap dan jelaganya menyebar kemana-mana. Belum lagi tingkat perokok yang tinggi,” jelas Wiji.
Perilaku masyarakat yang belum menerapkan PHBS juga menjadi salah satu faktor kasus pneumonia di Pulau Lombok.
Kondisi alam di Pulau Lombok yang kering dan berdebu menyebabkan kualitas udara tidak bagus. Selain itu sebagian besar penduduk NTB (70,75%) tinggal di Pulau Lombok sehingga menciptakan lingkungan yang padat penduduk.
“Beberapa faktor risiko pneumonia yang penting ditemukan di Pulau Lombok yaitu tinggal di hunian padat, terpapar polusi atau asap rokok, kurang gizi, dan tidak mendapatkan imunisasi lengkap,” jelas Wiji.
Harapannya dengan demonstrasi vaksin pneumonia yang dilakukan di Pulau Lombok dapat menyasar target-target potensial sehingga angka pneumonia dapat diturunkan, dibarengi penyadaran masyarakat setempat untuk mempraktekkan PHBS.