TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Istilah hipertensi atau tekanan darah tinggi tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat.
Hipertensi dikaitkan dengan tingkat tekanan darah di pembuluh darah.
Namun, masih banyak yang belum mengetahui tentang hipertensi pulmonal (pulmonary hypertension) atau di Indonesia sering disebut hipertensi paru.
Saat ini, hipertensi paru merupakan masalah kesehatan global yang cukup besar.
Lebih dari 25 juta kasus hipertensi paru di dunia, 50 persennya tak berobat hingga meninggal kurang dari dua tahun jika tidak diterapi.
Lebih mengejutkan lagi, tingkat kematian karena hipertensi paru lebih tinggi dibandingkan dengan kanker payudara dan kanker kolorektal.
Hipertensi paru sering diderita pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering diderita pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival / sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.
Selain itu, sekitar 80% dari pasien yang terkena hipertensi paru tinggal di negara-negara berkembang, di mana hipertensi paru sering dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan dan berbagai gangguan infeksi, termasuk schistosomiasis, HIV, dan penyakit jantung rematik.
Penggunaan istilah hipertensi paru lebih banyak digunakan di Indonesia untuk memudahkan masyarakat umum untuk mengenal dan mengingatnya.
Pakar Hipertensi Paru dan Dokter Spesialis Jantung & Pembuluh Darah, Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, Sp.JP(K), FAsCC, FAPSC, FACC mengatakan, “Hipertensi paru merupakan suatu keadaan dimana terjadi peninggian tekanan di pembuluh darah paru, baik di arteri maupun vena paru.
Tekanan darah tinggi ini berbeda dengan tekanan darah tinggi biasa yang diukur menggunakan tensimeter dan banyak diderita oleh masyarakat umum.
Tekanan darah tinggi pada hipertensi paru terjadi karena saluran (arteri pulmonal) yang membawa darah dari jantung ke paru-paru menyempit atau menebal sehingga jantung kanan harus bekerja lebih keras untuk memompa darah tersebut menuju paru-paru.
"Penyebab hipertensi paru sangat banyak, bermacam macam. Terdapat 5 (lima) klasifikasi klinis hipertensi paru dan terbagi lagi atas berbagai sebab antara lain penyakit jantung bawaan, penyakit jantung kiri, penyakit jantung paru, penggumpalan darah di pembuluh paru, penyakit jaringan ikat, lupus dan sebagainya, masih banyak lagi," katanya saat
Penyakit hipertensi paru dianggap langka karena cara mendiagnosanya sulit dan keluhannya tidak khas, mirip dengan keluhan penyakit paru atau penyakit jantung.
Diperlukan pemeriksaan yang lebih lengkap agar dapat ditangani dengan cepat dan tepat.
Hipertensi paru, jika diketahui sejak awal dapat diobati dengan obat-obat yang tersedia seperti golongan Ambrisentan, Bosentan, Tadalafil, Beraprost, Riociguat dan juga Sildenafil / Inhibitor Phosphodiesterase Type 5 (PDE5) yang telah disetujui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) beberapa waktu lalu sebagai obat hipertensi paru.
"Namun, dalam stadium lanjut pasien mungkin tetap akan mengalami sesak napas terus dan hipertensinya menetap tidak mau turun bahkan progresif, sehingga akhirnya terjadi gagal jantung kanan,” jelas Bambang saat Pfizer Press Circle (PPC) dengan topik “Mengenal Lebih Dekat Hipertensi Paru di Jakarta, Kamis (4/5/2017).
Gejala umum orang yang menderita hipertensi paru seperti mengalami susah bernapas, cepat lelah, pusing (perasaan ingin pingsan), jantung berdebar, rasa begah pada perut kanan, tekanan atau rasa sakit di area dada dan kaki menjadi bengkak.
Hipertensi paru merupakan penyakit kronis yang memerlukan perubahan atau penyesuaian gaya hidup dari pasien dan pengobatan sesegera mungkin setelah diagnosa, karena bila tidak maka bisa menyebabkan gagal jantung kanan.
Selain itu, pasien yang terdiagnosa hipertensi paru memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama bahkan seumur hidup.
Meskipun hipertensi paru cenderung tidak dapat disembuhkan, pengobatan yang tersedia dapat membantu mengurangi gejala dan mengingkatkan kualitas hidup.”
Pengurus Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), Dhian Deliani mengatakan, berdasarkan dataYHPI, prevalensi hipertensi paru di dunia adalah 5-10 pasien per 100.000 penduduk, sehingga seharusnya ada sekitar 12.500-25.000 pasien hipertensi paru di Indonesia.
"Ini sangat jauh dengan realita yang terdata di YHPI, yaitu sekitar 120 pasien aktif dari seluruh Indonesia," katanya.
Dikatakannya, ketersediaan jenis obat hipertensi paru di Indonesia yang masih minim juga menjadi salah satu kendala.
Dari 14 jenis obat yang ada di dunia, hanya 4 yang tersedia di Indonesia dan dan hanya satu yang ditanggung BPJS.
"Kami berharap Pemerintah dapat lebih memperhatikan pasien-pasien penyakit langka ini dan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bisa turut mengakomodir kebutuhan pasien akan obat ini, terutama obat golongan Sildenafil yang belum masuk ke dalam daftar formularium nasional yang bisa ditanggung oleh BPJS," katanya.
Handoko Santoso, Medical Director Pfizer Indonesia mengatakan, Pfizer berkomitmen menjalankan segala kegiatan dan operasionalnya demi masyarakat Indonesia yang lebih sehat.
Melalui kegiatan ini kami berharap dapat lebih membuka mata masyarakat tentang pemahaman penyakit ini dan agar tidak menganggap sepele penyakit langka ini, karena semakin cepat dideteksi, semakin besar pula peluang para pengidap untuk berobat hingga sembuh.