TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Upaya peningkatan kualitas obat di rumah sakit bisa dilakukan melalui empat lini yakni dalam rumah sakit sendiri, berupa pemberdayakan keberadaan apoteker di rumah sakit, dengan kontrol distributor obat secara ketat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
Juga mengontrol secara ketat limbah rumah sakit yang diharapkan menjadi perhatian Kementerian Lingkungan Hidup, serta ketersediaan obat di pasar.
Hal ini terungkap saat workshop Peningkatan Kompetensi Apoteker dan Implementasi Pelayanan Kefarmasian Yang Baik’ (Permenkes No 72 Tahun 2016/GPP) di 40 RS Se Kota Bekasi, Senin (7/8/2017).
PP IAI menggandeng FAPA Foundation, Good Pharmacy Pracice (GPP) Expert Group merumuskan bagaimana Permenkes 72/2016 dapat diimplementasikan di rumah sakit.
Baca: Laudya Chintya Bella: Obat Pilihan Terakhir
GPP Consulting Team terdiri dari Mr Joseph Wang (President FAPA), Dr Chang Yuh Lih (Taipe Veterans General Hospital), Dr Chiang Shao Ching (Sun Yat Cancer Center), dan Ivan HungChang Chou (Executive Director Taiwan Young Pharmacist Group) membantu Tim GPP IAI selama kegiatan ini berlangsung.
"Dari dalam rumah sakit, upaya dilakukan dengan memberdayakan apoteker yang menjadi penjaga gawang bagi keamanan obat yang diberikan kepada pasien," kata Joseph Wang, Senin.
Jumlah apoteker yang cukup di setiap unit, keterlibatan apoteker dalam pengadaan obat-obatan diharapkan menjadi salah satu cara untuk menghindari masuknya obat-obatan palsu maupun obat dengan kualitas dibawah standar ke rumah sakit .
Ketersediaan apoteker di Rumah sakit, selama ini belum secara signifikan mempengaruhi peringkat akreditasi yang diperoleh oleh Rumah Sakit.
Baca: Bingungkan Pelanggan, Perusahaan Obat Bayar Kompensasi Rp 35 M
Seharusnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pelayanan di rumah sakit, ketidakseimbangan jumlah apoteker dengan jumlah tempat tidur dan banyaknya pasien yang dilayani menjadi satu pertimbangan rendahnya akreditasi yang dapat diraih oleh rumah sakit tersebut.
"Sehingga sangat patut dipertimbangkan untuk merasionalisasi jumlah apoteker dengan kapasitas pelayanan di rumah sakit. Jika tidak, Komite Akreditasi Rumah Sakit perlu memberikan penekanan khusus agar rasio apoteker dan kapasitas pelayanan dapat diseimbangkan," katanya.
Kementerian Kesehatan harus melakukan kontrol ketat terhadap distributor yang bertanggungjawab terhadap distribusi obat hingga ke rumah sakit.
Baca: Bahaya yang Ditimbulkan dari Obat Dumolid yang Dipakai Tora dan Mieke
Dalam hal ini, rumah sakit harus melakukan seleksi ketat pula dalam memilih distributo resmi untuk pengadaan obat-obatan di rumah sakitnya.
Pengolahan limbah menjadi persoalan penting dalam mencegah terjadinya pemalsuan obat.
"Sepatutnya Kementerian Lingkungan Hidup menaruh perhatian dalam pengolahan limbah rumah sakit yang memungkinkan untuk disalahgunakan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus vaksin palsu tahun lalu," katanya.
Ketua PP IAI Nurul Falah Eddy Pariang menambahkan, ketersediaan obat menjadi alasan paling besar dalam kasus vaksin palsu yang belum lama terjadi.
Baca: Harga Obat bisa Dicek lewat SMS
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diharapkan dapat membantu mengurai masalah ini.
Direktur Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI, R. Dettie Yuliati berharap dari worskhop ini mampu meningkatkan pelayanan kefarmasian yang baik sesuai Permenkes 72/2016.
"Diharapkan dimasa datang, kegiatan ini dapat dilakukan di kota-kota lain di seluruh Indonesia, sehingga Permenkes No 72/2016 dapat dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh rumah sakit yang beroperasi di Indonesia. Dengan begitu, akan turut serta berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan Indonesia," katanya.