TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil pemantauan status gizi (PSG) yang dilakukan Kementerian Kesehatan, angka kasus stunting di Indonesia masih cukup tinggi.
Pada tahun 2016, Kemenkes mencatat, 27,5% bayi di Indonesia berada dalam status stunting.
Hal ini menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus stunting tertinggi di Asia. Di dunia, Indonesia menduduki posisi ke-17 dari 117 negara. Walaupun data kasus ini sudah menunjukkan penurunan dibanding tahun 2013.
Sedangkan data Riskesdas menyebutkan, angka kasus stunting mencapai 37,2%. Angka ini memperlihatkan 3 atau 4 dari 10 anak di Indonesia dalam kondisi stunting.
Berapapun angka yang diperoleh, namun tetap saja perlu upaya keras dari berbagai pihak untuk mensukseskan program pencegahan stunting ini.
Periode emas
Periode emas atau periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), yaitu sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun, merupakan periode yang sangat penting. Pasalnya, pada periode inilah rentan terjadi hambatan pertumbuhan yang disebabkan kurang gizi.
Secara medis, periode ini dimulai sejak pembuahan (dalam kandungan) sampai anak berusia 2 tahun. Periode emas ini, akan menentukan petumbuhan dan perkembangan anak yang pada akhirnya sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Fakta lain juga menyebutkan, angka kasus stunting lebih banyak di temukan pada masyarakat desa (42,1%) dengan status pendidikan rendah (41,8%). Itu bila dibandingkan dengan masyarakat kota (32,5%) yang status pendidikan lebih tinggi (33,6%).
Salah satu penyebab masih tingginya angka kasus stunting ini, selain rendahnya kemampuan masyarakat untuk membeli makanan bergizi, juga disebabkan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya memberikan ASI ekslusif kepada bayi.
Karena prihatin Fatayat NU pun membuat gerakan bersama dalam pencegahan stunting melalui pembentukan BARNAS (barisan nasional cegah stunting).
Gerakan ini akan meningkatkan pemahaman tentang 1000 HPK (Hari pertama kehidupan). Kemudian melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya ASI ekslusif.
Memberikan pembelajaran pemberian makanan anak 6-23 bulan kepada ibu.
Dan, advokasi kepada tokoh agama agar memberikan penguatan kepada masyarakat melalui pendekatan agama.
Seirama dengan Barnas, PP FATAYAT NU menyerukan aksi bersama masyarakat dan pemerintah. Yakni, mendewasakan usia perkawinan dan menolak pernikahan anak.
Berdasarkan kajian yang dilakukan ahli gizi Indonesia, perkawinan anak berpotensi melahirkan generasi stunting, dikarenakan calon ibu masih dalam masa pertumbuhan.
Pada usia ini, calon ibu belum siap hamil dan melahirkan. Selain itu, secara psikologis mereka juga belum siap untuk menjadi orang tua.
Melibatkan keluarga, terutama ayah dalam pola asuh anak. Karena mengasuh dan mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama. Mengasuh anak, merupakan tanggung jawab seluruh anggota keluarga, bukan hanya kewajiban salah satu (ayah atau ibu) saja.
Memastikan setiap ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan rutin, minum tablet tambah darah, dan mengkonsumsi makan seimbang. Serta memastikan ibu melahirkan di tempat layanan kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan.
Selain itu, akan memastikan bayi memperoleh IMD dan ASI ekslusif sampai 6 bulan, memperoleh MPASI yang tepat sesuai dengan tahapan usia, dan melanjutkan pemberian ASI sampai 2 tahun.
Memastikan keluarga terutama anak-anak, tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang baik.
Gerakan yang dilakukan oleh FATAYAT NU ini berpegang pada salah satu ayat al-Quran,: "Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah. Mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.. (Q.s An-Nisa': 9).
Maka, sebagai hamba Allah yang beriman, kita harus berjuang untuk mewujudkan generasi emas Indonesia di masa depan. Karena mereka adalah orang yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini.
Generasi Sehat Generasi Hebat.