Sebab jika anak butuh banyak obat, puyer bisa menjadi alternatif karena harganya jadi lebih murah.
Ada pula yang beragurmentasi puyer is the best karena bisa didesain individual.
Akan tetapi, sebuah workshop yang disponsori WHO sama sekali tidak merekomendasikan penggunaan puyer.
Obat yang dibuka dari bungkusnya, digerus sendiri, lalu dibagikan ke masing-masing kertas pembungkus tanpa ditimbang tentu saja rentan menghadirkan kesalahan.
Sebut saja bagaimana perhitungan farmakokinetiknya? Bagaimana interaksi obatnya? Bagaimana sterilitasnya? dll.
Ternyata, negara-negara berkembang peserta workshop WHO itu hanya Indonesia yang masih mengaplikasikan puyer.
Bahkan, Tanzania, negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia, puyer sudah tidak ada.