TRIBUNNEWS.COM - Micin alias monosodium glutamat (MSG) adalah penambah rasa yang biasa ditambahkan ke dalam makanan.
Micin ditemukan lebih dari 100 tahun lalu oleh seorang ahli kimia Jepang bernama Kikunae Ikeda. Awal ditemukannya MSG, bahannya diambil dari rumput laut.
Menurut Food and Drug Administration (FDA), saat ini MSG dibuat dengan memfermentasi pati gula, tebu, atau tetes tebu.
Mengenai MSG sendiri, FDA telah menerima banyak laporan anekdot perihal reaksi buruk makanan yang mengandung MSG.
Reaksi ini dikenal sebagai gejala MSG, seperti: sakit kepala, berkeringat, sesak, mati rasa, kesemutan atau terbakar di wajah, leher, jantung berdebar-debar, nyeri dada, mual, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, dari sekian banyak riset dilakukan sejak muncul kabar MSG berbahaya bagi kesehatan, juga bisa menyebabkan kebodohan, tidak ada yang bisa menemukan bukti pasti adanya hubungan antara MSG dan gejala-gejala tersebut.
Baca: Konsumsi MSG Membuat Perut Terasa Kenyang
Peneliti malah menyatakan, pada sebagain orang bisa saja muncul reaksi jangka pendek gara-gara MSG, tetapi gejalanya biasanya ringan dan tidak memerlukan pengobatan.
Pendapat Ahli Tentang MSG
Menurut ahli alergi dan ahli imunologi, Katharine Woessner dari Grup Medis Klinik Scripps, yang melakukan penelitian tentang efek MSG, ada banyak kesalahpahaman di masyarakat mengenai MSG.
Banyak ilmuwan sepakat, anggapan MSG menyebabkan penyakit pada manusia tidak berdasar.
Hal senada diungkapkan Ken Lee, Profesor dan Direktur Inovasi Makanan di The Ohio State University.
Menurutnya, tidak benar MSG beracun atau penyebab alergi makanan. MSG adalah singkatan dari monosodium glutamat, tambahnya.
Jadi, isinya adalah natrium, banyak terdapat pada garam meja. Sementara glutamat, komponen dasar MSG, adalah sinonim untuk asam glutamat. Ini adalah asam amino alami.
Penting diketahui, sebagian besar makhluk hidup di bumi mengandung glutamat dan glutmat banyak terdapat dalam bahan makanan, termasuk tomat, kenari, keju parmesan, kacang polong, jamur, dan kecap.
Rata-rata orang dewasa mengonsumsi sekitar 13 g glutamat setiap hari dari protein dalam makanan. Padahal menurut FDA, MSG hanya menyumbang 0,55 g glutamat.
Kenapa MSG Dipercaya Berbahaya?
Tahun 1960-an, ketika The New England Journal of Medicine menerbitkan sebuah surat dari dokter di Maryland, Robert Ho Man Kwok, yang menulis bahwa ia mengalami gejala mirip dengan reaksi alergi setiap kali mengonsumsi makanan dari restoran Cina. Dia pun mempertanyakan penyebabnya, apakah hal itu karena anggur yang diminumnya, rempah-rempah dalam makanan, atau MSG?
Surat Kwok yang merujuk pada kumpulan gejala sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS) mendorong orang lain untuk menulis ke jurnal dengan pengalaman mereka sendiri yang juga merasakan pusing setelah mengonsumsi makanan Cina.
Entah bagaimana, saat surat Kwok booming, seorang ahli saraf bernama John Olney menerbitkan sebuah studi tentang aditif in science. Dalam eksperimennya, dia menyuntikkan aditif (MSG) langsung ke tikus putih laboratorium. Hasilnya, ditemukan sejumlah masalah neurologis pada subjeknya, termasuk lesi otak atau perkembangan yang terganggu.
Eksperimen Olney banyak dipertanyakan dan disangsikan, karena Olney memilih untuk menyuntikkan tikus dengan MSG di bawah kulit, sedangkan satu-satunya cara manusia mengonsumsi MSG adalah dengan memakannya. Hal ini, menurut John Fernstrom, Profesor Psikiatri, Farmakologi, dan Biologi Kimia di University of Pittsburgh School of Medicine, tidak benar, apalagi glutamat sebagian besar dimetabolisme di usus.
Tak hanya itu yang membuat banyak ahli meragukan eksperimrn Olney. Dalam eksperimennya, Olney menyuntikkan MSG ke subjek tikusnya dengan dosis untuk kuda, jauh lebih tinggi daripada yang dikonsumsi manusia. Menurut Lee, apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan tidak baik, karena semua yang dikonsumsi secara berlebihan bisa menjadi racun, termasuk MSG.
Lucunya, pada1993 ada penelitian yang membongkar teori MSG is bad for you. Penelitian yang menguji 71 subjek untuk reaksi terhadap MSG sehubungan dengan CRS menyimpulkan bukti ilmiah ketat dan realistis yang menghubungkan sindrom ini dengan MSG tidak dapat ditemukan.
Nah, masih percaya MSG berbahaya?