Kemudian efek 'tidak percaya' terhadap vaksin, lantaran sebelumnya memang telah beredar pemberitaan adanya vaksin palsu beberapa waktu yang lalu.
Hal itu juga menjadi penyebab masyarakat memiliki pandangan yang berbeda, ketidakpercayaan terkait fungsi vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh anak mereka.
Walaupun kasus vaksin palsu sudah ditangani oleh Kementerian Kesehatan RI melalui cara vaksinasi ulang.
Faktor penyebab lainnya adalah rendahnya pendidikan orangtua si anak yang bisa saja mempengaruhi perilaku mereka.
Orangtua yang memiliki pendidikan rendah, cenderung kurang memiliki pengetahuan terkait pola hidup sehat, bersih, dan seberapa pentingnya pemberian imunisasi bagi anak-anak mereka.
Di sekolah pun, para guru juga wajib mewaspadai bakteri ini.
Para siswa juga bisa tertukar difteri di sekolah, hal tersebut karena kurangnya pola hidup sehat dan bersih yang ditanamkan di sekolah.
Kemudian anggapan 'haram' terhadap vaksin juga ternyata dipegang teguh oleh sebagian masyarakat.
Menurut mereka, vaksi bisa saja mengandung bahan yang haram, meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan bahwa vaksin tersebut halal, namun terkadang ada sebagian masyarakat tetap enggan untuk mempercayainya.
Lalu ada pula tipe masyarakat yang menganggap bahwa sistem imun telah ada sejak lahir dalam tubuh tiap individu, sehingga penggunaan vaksin tidak terlalu dibutuhkan.
Peran Serum anti-difteri dan antibiotik
Serum anti-difteri dan antibiotik harus diberikan secara bersamaan untuk mengobati pasien yang terkena difteri.
Keduanya harus diberikan karena serum anti-difteri tidak bisa bekerja sendiri untuk mengeliminasi bakteri penyebab penyakit mematikan itu.
Begitu pula antibiotik yang tidak bisa menggantikan peran serum yang memiliki fungsi untuk menetralisir racun difteri.
Perlu diketahui, serum anti-difteri hanya bisa menetralisir racun dalam tubuh penderita saja.
Sehingga penting bagi masyarakat untuk segera mendapatkan serum anti-difteri dan antibiotik sesaat setelah gejala difteri ditemukan pada tubuh si penderita.
Jangan menunda pemberian serum karena tentu akan meningkatkan resiko kematian bagi penderita.
Oleh karena itu serum sebaiknya diberikan pada penderita tiga hari pertama sejak timbulnya gejala tersebut.
Setelah itu, antibiotik juga harus diberikan agar bakteri tersebut mati dan juga mencegah penyakit itu menular ke manusia lainnya.
Dari Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri tersebut, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi penanganan difteri dengan menggunakan serum anti-difteri dan antibiotik.
Pemerintah harus memastikan tingkat efektivitas serum tersebut bagi masyarakat dan ketersediannya, sehingga KLB Difteri tidak terulang di masa mendatang.