News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Seorang Sopir di Gianyar Rawat 26 Penderita Sakit Jiwa

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Made Sukabawa (kiri) bersama Wayan Mega Putra penderita gangguan jiwa dengan ayah ibunya, saat ditemui di Blahbatuh, Gianyar, Sabtu (27/1) sore.

TRIBUNNEWS.COM, BALI - Lima tahun yang lalu, ketika mengantarkan anaknya yang bersekolah di Renon, I Made Sukabawa sering melihat seorang perempuan yang mengalami gangguan jiwa menyeberang di Jalan Bypass Prof Ida Bagus Mantra.

Kurang lebih delapan bulan pria asal Banjar Pande, Desa Blahbatuh Gianyar ini mengalami hal itu, hingga ia tidak menemukan perempuan itu menyeberang lagi.

Namun, ia memiliki insting lain bahwa perempuan tersebut masih ada di dekat sana dan hidupnya menderita.

Saat itu ia berpikir, kalau mau membantu orang tersebut harus membutuhkan biaya puluhan juta, sementara ia tak memiliki apa-apa.

Baca: Empat Hakim di Jawa Tengah Lolos Seleksi Administrasi Calon Hakim Agung di Komisi Yudisial

Namun kini, ia menangani 26 orang penderita gangguan jiwa.

Setelah didesak oleh anaknya untuk membantu perempuan itu, akhirnya ia tergerak.

Bermodal Rp 3 juta, dan sisanya meminjam dari istri dan temannya, Sukabawa akhirnya membawa perempuan itu ke Rumah Sakit Gianyar.

“Sebelum itu saya menelepon Satpol PP berulangkali, dinas sosial juga sudah, kantor polisi juga sudah, sampai ngilulah, tapi tidak ada tanggapan, dari itulah saya mulai tergerak untuk membantu,” kata Sukabawa, saat ditemui di rumahnya, Sabtu (27/1/2018).

Dulu, ia tidak pernah berpikir membuat sebuah yayasan karena merasa ekonominya tidak mendukung.

Kenangan sewaktu SD kelas 4 membayang di pikirannya.

Bagimana ia harus membagi sebutir telur menjadi delapan untuk lauk.

Saat itu ia harus berbagi dengan saudara-sudaranya yang berjumlah empat orang, ibu-bapak, serta neneknya. Menyedihkan memang.

Namun, setelah ia mendirikan yayasan tersebut, ada juga yang menyalahkan.

Hingga akhirnya temannya memberikan saran untuk mendaftarkan yayasan Tulus Darma Wiarta yang didirikannya agar memiliki badan hukum.

Dengan bantuan dari Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ ia memperoleh izin dari Kementerian Hukum dan HAM.

Namun itu tidak semudah yang dibayangkan saat mengurus izin di tingkat provinsi dan kabupaten.

Bahkan ada banyak orang yang menjanjikan untuk membantu, namun sampai sekarang belum terbukti dan belum punya izin dari provinsi maupun kabupaten.

Tujuan utama yayasan yang didirikan memiliki tujuan untuk mengajak orang yang mengalami gangguan jiwa bercengkrama.

Karena menurut Sukabawa banyak yang mengalami gangguan jiwa kesepian dan telantar. Mereka membutuhkan teman untuk bercerita.

“Sekarang orang-orang banyak yang menelantarkan mereka. Saat seperti itu mereka tidak ada yang perduli, coba saat sudah sembuh dan menjadi orang mampu, banyak yang berduyun-duyun datang mendekat,” kata Sukabawa.

Setiap ia bertandang ke rumah penderita gangguan jiwa, Sukabawa harus membawa makanan, rokok, ataupun kopi. Jika ada uang lebih, ia akan memberikan uang tambahan untuk mereka.

Dan perlu diketahui itu uang dari kantongnya sendiri dan juga rekannya yang diajak ke sana, bukan dari pemerintah.

Baca: Krisdayanti Tulis Caption Soal Becak, Netter Malah Ingat Wacana Anies Baswedan

“Karena tidak punya kerjaan, saya melancong ke sana. Sama teman saya juga kalau ia tidak kerja. Kalau punya uang, saya kasih uang. Saya kasih rokok dan kopi. Itu harus, biar mau diajak bicara,” kata Sukabawa.

Bahkan tak jarang ia meminjam uang untuk melakukan hal itu. Pernah juga ia menggadaikan sepeda motornya, karena saat itu ia tidak punya pekerjaan lagi.

Walaupun masih menjadi sopir, namun sudah jarang. Hanya ketika ada orderan saja. Pernah juga ia ‘menodong’ istrinya yang menjadi guru untuk meminjam uang.

“Saya selalu bertanya kepada istri saya, di mana kita bisa meminjam uang lagi? Bahkan istri saya pernah ngambek. Tapi saya selalu bilang bahwa kita harus bersyukur masih bisa bantu orang. Kita masih bisa makan, mereka ada yang tidak bisa makan,” lanjutnya.

Bagaimana membayar pinjamannya tersebut, ia tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia selalu percaya suatu saat pasti ada jalan. “Tuhan tidak tidur,” imbuhnya.

Ketika bertandang ke rumah orang dengan gangguan jiwa, dulu pernah ada dari dinas sosial, baik dari provinsi maupun kabupaten yang ikut berkali-kali. Namun hanya ikut saja dan tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Ia sampai malu kepada keluarga yang mengalami gangguan jiwa mengajak dinas sosial ke sana, namun tidak ada tindak lanjutnya. Tapi dia menganggap itu belum jodoh dan belum waktunya. Bahkan ada oknum dari dinas sosial yang mengatakan bahwa tidak usah membuat yayasan seperti ini, dan disuruh langsung membawa ke RSJ Bangli.

Sebenarnya, ia merawat 29 orang dengan gangguan jiwa di Desa Blahbatuh yang mempunyai 12 banjar. Namun dua orang telah meninggal dan satu orang hilang sehingga masih tersisa 26 orang. Adapun datanya yaitu Banjar Pande terdapat 7 orang dengan gangguan jiwa, Banjar Pokas ada 3 orang, namun sudah meninggal satu orang karena usia sehingga tersisa 2 orang, Banjar Satria 1 orang, Banjar Truna 3 orang, Banjar Tubuh 1 orang, Banjar Darmatiaga 1 orang, Banjar Tusan 2 orang meninggal 1 sehingga tersisa 1 orang, Banjar Kebon 3 orang, Banjar Tengah 7 orang karena hilang 1 orang tingga 6 orang, dan Banjar Antungan 1 orang. Dari semua itu, ada juga yang dititipkan di RSJ Bangli 2 orang karena sering melempari orang dengan batu.

Sebelumnya, ia pernah mengontrak sebuah rumah untuk menampung orang dengan gangguan jiwa agar mudah saat ia berkunjung. Namun setelah satu tahun berjalan, ia tidak mampu membayar kontrakan tersebut sehingga dikembalikan lagi ke rumah masing-masing. Kini, dua orang kakak beradik ia rawat di rumahnya karena yatim piatu. Sementara yang lain ia kunjungi ke rumahnya masing-masing. Ia melakukan kunjungan ke tiga sampai empat lokasi dalam sehari yang dimulai pukul 08.00 Wita.

Sukabawa yang putus sekolah saat SMP mengatakan, orang dengan gangguan jiwa yang ditanganinya disebabkan oleh beberapa faktor. Ada karena tidak bisa melanjutkan sekolah lalu menjadi stres, kena ilmu hitam, sakit hati, dan bisa juga karena keturunan. Kalau dari gen dia merasa agak kesulitan menangani sehingga harus dekat dan akrab. Jika kena ilmu hitam, ia mengatakan hanya kambuh saat hari keramat, semisal Jumat Kliwon.

Bawa Kopi

Bersama Made Sukabawa dan rekannya I Kadek Wirnata, Tribun Bali berkesempatan berkunjung ke rumah Wayan Rata, penderita gangguan jiwa di Banjar Tengah, Desa Blahbatuh, Gianyar. Kondisinya sangat memprihatinkan.

Wayan Rata tinggal di dalam gubuk kecil kira-kira berukuran 2 x 2 meter. Gubuk kecil dengan dinding anyaman bambu yang telah usang tanpa pintu dan hanya ditutup sebidang gorden kumal.

Di dalamnya terdapat sebuah bale, dengan alas tikar dan satu bantal yang kotor berwarna cokelat. Di pojok selatan bale, terlihat tumpukan sampah bungkus rokok, plastik, botol, dan juga gelas bekas kopi yang belum dicuci.

Sampai di sana Sukabawa menyodorkan makanan, kopi, dan rokok yang dibawanya. Sudibawa bertanya, “sudah ngopi?” lalu dijawab, “sudah tadi, kok lama tidak ke sini. Sudah satu minggu tidak datang.” Mendengar jawaban itu, Sudibawa tertawa lalu disambut oleh kakaknya Rata, Wayan Dusun, “Baru tiga hari yang dia lalu datang ke sini, belum ada seminggu.”

Menurut Wayan Dusun, adiknya tersebut telah mengalami gangguan jiwa sejak tiga tahun lalu. Tapi ia tak tahu apa penyebabnya.

“Saya tidak tahu apa penyebabnya. Di rumah tidak ada masalah apa-apa,” kata Dusun.

Setelah Rata mengalami gangguan jiwa, ia dititipkan ke Wayan Dusun yang sudah menikah oleh adik dan juga ibunya. Awalnya hanya bilang menitip sebentar, namun sampai kini ia masih tetap merawatnya. Ia berharap kepada pemerintah agar meringankan beban yang dimilikinya.

“Nggih mangda wenten wantuan napi anggon ngubadin adin tiange (Semoga ada bantuan untuk pengobatan adik saya). Hidup kami susah, hanya mengandalkan anak yang bekerja sebagai buruh bangunan,” kata Dusun dengan suara yang berat mencoba menahan kesedihannya.

Tidak Diajak

Tribun Bali mencoba mewawancarai Wayan Rata. Ia yang terlihat kumal dengan rambut dan janggut gondrong tanpa menggunakan baju hanya mengatakan hanya keluar dari gubuknya saat kencing atau bosan ada di dalam gubuk. Selebihnya ia hanya duduk di dalam gubuk sambil merokok atau bengong.

Dulu sebelum sakit, ia bekerja sebagai buruh bangunan. Kini, ada keinginan untuk bekerja lagi, namun ia mengaku tidak ada yang mau mengajak.

“Dot ya. Sing ada ngajak (Sebenarnya ingin. Tidak ada yang mau mengajak),” kata Rata.

Selain itu, Tribun Bali juga berkunjung ke rumah Wayan Mega Putra, seorang penderita gangguan jiwa yang masih berumur 24 tahun. Menurut penuturan sang ayah, Made Tangen, anaknya mulai mengalami hal itu sejak sekolah di STM kelas 11.

Tiba-tiba sang anak minta berhenti sekolah, bahkan gurunya pernah membujuknya, namun ia tidak mau. Setelah itu, ia juga menunjukkan tingkah laku aneh dengan berlari di jalan pukul 12.00 Wita. Setelah berlari ia mandi, dan mengurung diri di kamar.  Selain itu, Mega juga sulit tidur.

“Sudah diantar ibunya dua kali ke dokter, tapi tidak ada perubahan. Selain itu diantar juga ke Ida Pedanda katanya ia berhalusinasi,” kata Tangen. Namun kini Mega sudah mulai berani ke luar walaupun hanya di areal pekarangan rumah.

Tangen yang bekerja sebagai buruh bangunan menuturkan, anaknya pernah mengatakan pada ibunya kalau temannya sudah ada di depan rumahnya dan memanggil dirinya. Namun ketika dicek ke depan rumah tidak ada. Bahkan dicek sampai ke jalan raya juga tidak ada.

Tangen mengatakan, sampai saat ini anaknya belum mendapat perhatian dari pemerintah. Seperti harapan Wayan Dusun, Tangen juga berharap ada bantuan dari pemerintah untuk pengobatan anaknya yang kedua tersebut. Selama ini ia mengaku hanya Sukabawa dengan rekannya saja yang datang ke rumahnya memotivasi sang anak. (sup)
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini