Laporan Reporter Warta Kota, Gopis Simatupang
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengidap gangguan jiwa, khususnya skizofrenia, tak terlepas dari stigma yang tumbuh di tengah masyarakat.
Acapkali mereka disebut gila dan diasingkan dari lingkungan sosial.
Akibatnya, tak sedikit anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa disembunyikan. Bahkan, mereka tak jarang dipasung.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Penanganan Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Asjikin Iman, mengatakan, stigma tersebut akhirnya menghambat pasien skizofrenia mendapatkan pengobatan yang komperehensif.
Dengan pengobatan yang tepat pasien skizofrenia mampu produktif dan menjadi bagian dari masyarakat.
Menurut Asjikin, diperlukan keterlibatan tenaga kesehatan, komunitas dan anggota keluarga, agar masyarakat mengerti dan dapat menghilangkan stigma mengenai skizofrenia.
Baca: Pemkot Tangsel Akan Bangun Alun-alun Seluas 20 Hektar, Lokasinya di Seberang Kantor Walikota
"Pendidikan dan informasi pada keluarga terdekat penting. Penyakit ini ada obatnya sehingga orang yang mengalami skizofrenia dapat diobati bukan disembunyikan apalagi dipasung," kata Asjikin beberapa waktu lalu.
Ketua Umum Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) Pusat, dr Eka Viora, SpKJ, mengatakan, pasien memiliki kemungkinan lebih besar pulih apabila pengobatan dilakukan lebih dini.
Sedangkan untuk skizofrenia yang sudah berat, terapi yang dilakukan jangka panjang.
"Minum obat bisa dikatakan seumur hidup. Apabila ada gejala kekambuhan dokter dapat menaikan dosis," kata Eka.
Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Ayu Puspandari, mengungkapkan, skizofrenia paling banyak ditemukan pada orang dengan usia produktif.
Karena itu, bila penyakit ini tidak ditata laksana dengan baik, akan banyak sekali biaya kesehatan yang harus dikeluarkan keluarga maupun negara.