News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kurangi Konsumsi Rokok, Harganya Mestinya Dinaikkan Bukan Didiskon

Penulis: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG – Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid – yang akrab disapa Gus Sholah – mengkritik kebijakan diskon rokok dari harga banderolnya atau harga yang tertera pada pita cukai.

Kebijakan ini tak sejalan dengan upaya pemerintah dalam menurunkan tingkat konsumsi rokok oleh masyarakat Indonesia.

“Harusnya, saat ini yang dilakukan adalah menaikan harga rokok,” ujar Gus Sholah dalam Pertemuan Kyai, Santri dan Fatayat NU se-Jawa Timur Untuk Pengendalian Tembakau, Sabtu (21/7).

Dia menjelaskan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Sebanyak 26,6 persen pemuda di Indonesia adalah perokok.

Kondisi ini merata di semua daerah di Indonesia. Tingkat konsumsi (prevalensi) merokok juga meningkat 27 persen menjadi 34 persen.

Baca: Shenina Cinnamon Pacar Jefri Nichol Pajang Foto Mesra Seusai Kekasih Ditangkap Narkoba, Ini Pesannya

Baca: Kapan Puasa Arafah Tahun 2019, Ini Niat dan Keutamaan Puasa Arafah

Baca: Diwisuda Jadi Sarjana Saat Berusia 74 Tahun, Mbah Sogirah Merasa Bahagia

Saat ini, ketentuan diskon rokok diatur melalui ketentuan diskon diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai.

Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Dengan demikian, konsumen mendapatkan diskon sampai 15 persen dari harga yang tertera dalam banderol.

Aturan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.

Harga rokok yang terjangkau, salah satunya akibat praktik diskon, membuat konsumsi produk tembakau ini sulit turun. Ironisnya, pembeli produk rokok murah sebagian besar adalah kelompok miskin.

“Pengeluaran rokok di kelompok miskin itu 6,5 kali konsumsi daging di keluarganya,” cetus Abdillah Ahsan, Peneliti Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia di kesempatan yang sama.

Dia menjelaskan saat ini sebanyak 70 persen laki-laki usia antara 25-44 tahun merokok.

Setiap tahun, seseorang harus membakar rata- rata Rp 5,4 juta untuk membeli rokok. Angka ini kemungkinan akan bertambah jika harga terus rokok mengalami diskon.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini