News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pelaku Perkosaan 9 Anak di Mojokerto Divonis Hukuman Kebiri Kimia, Apa Itu dan Bagaimana Efeknya?

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Willem Jonata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ini Efek Hukuman Kebiri Kimiawi pada Tubuh

TRIBUNNEWS.COM - Pelaku perkosaan terhadap 9 anak di Mojokerto divonis hukuman kebiri kimia. Hukuman itu merupakan yang pertama diterapkan di Indonesia.

Yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya kebiri kimia itu dan bagaimana cara kerjanya?

Seperti yang ditulis Metro UK, testis pria berisi sumber dorongan seksual, ada banyak hormon kunci di sana.

Kebiri adalah menghilangkan semua dorongan-dorongan itu.

Baca: Alan Turing, Ahli Matematika Zaman PD II yang Dikebiri Kimia, Akan Dipampang di Uang Kertas Inggris

Kebiri bisa dilakukan dengan bedah, yang melibatkan pengangkatan testis, atau menginjeksikan bahan kimia.

Untuk kebiri kimia, pengobatan dilakukan untuk mengurangi tingkat hormon testosteron pada pria.

Kebiri kimia dilakukan melalui pemberian obat-obatan antiandrogen, baik dalam bentuk pil atau lebih umum melalui suntikan.

Awalnya, kebiri kimia digunakan untuk pengobatan predator seks, dan dianggap sebagai obat untuk masalah dorongan seksual mereka.

Ilustrasi (freepik)

Kebiri kimia telah dilakukan sejak tahun 1944 di Inggris.

Tahun 2010 lalu di Inggris, seorang pria bersalah telah mencoba melakukan pembunuhan terhadap wanita 60 tahun karena berniat memperkosa dua cucunya.

Ia akhirnya setuju menerima kebiri kimia sebagai hukumannya.

Namun, akhir-akhir ini di Inggris, kebiri kimia lebih sering digunakan untuk perawatan kanker yang ketergantungan hormon, seperti kanker prostat, yang bertujuan memerangi penyakit ini.

Kasus kebiri kimia yang paling terkenal yaitu dilakukan pada ahli matematika jenius asal Inggris bernama Alan Turing.

Ia adalah seorang peneliti matematika dan komputer sekaligus pahlawan perang Inggris kala itu.

Alan Turing merupakan orang pertama yang berpikir menggunakan komputer untuk berbagai keperluan.

Namun pada 1952, ia terbukti bersalah melakukan tindakan homoseksual tidak senonoh.

Kebiri kimia dijatuhkan padanya.

Namun, dua tahun sejak menerima treatment kebiri kimia, Alan Turing bunuh diri.

Kisah tragisnya diangkat dalam sebuah film berjudul Imitation Game, diperankan oleh Benedict Cumberbatch.

Baca: Manfaat dan Risiko Santap Torpedo Kambing, Benarkah Meningkatkan Libido Lelaki?

Imitation Game (Engadget)

Kebiri kimia tetap menjadi cara menghukum pelanggar seks sampai hari ini di banyak negara, yang terkadang bisa pengurangan hukuman penjara mereka.

Ada beberapa efek samping pada pengebirian kimia, hanya beberapa yang mengancam jiwa.

Dalam beberapa kasus, seperti yang dialami Alan Turing, laki-laki yang dikebiri kimia dapat mengalami ginekomastia (pertumbuhan kelenjar susu).

Selain itu, laki-laki yang dikebiri juga bisa mengalami pengurangan otot dan peningkatan massa lemak tubuh serta melemahnya tulang.

Dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular dan osteoporosis, diberitakan Metro UK.

Dalam kasus-kasus hukuman kebiri kimia pada pelanggar seks, banyak kriminolog menyatakan, sebenarnya hukuman penjara yang dikurangilah yang mendorong mereka untuk tidak melakukan kejahatannya kembali daripada menggunakan obat-obat.

Sebab, mereka lebih menghargai kebebasan mereka.

Baca: Penuh Haru & Tawa Bahagia, Intip Deretan Momen Spesial Acara Teapai Roger Danuarta & Cut Meyriska

Banyak filsuf dan pekerja hak asasi manusia telah menyuarakan penentangan terhadap penggunaan pengebirian kimia.

Seiring berjalannya waktu, berbagai pendekatan berbeda dilakukan untuk mengadili pelanggar seks, seperti rehabilitasi.

Untuk kasus Muh Aris sendiri, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto masih mencari eksekutor untuk mengebiri kimia.

Sebab, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor karena bertentangan dengan etika.

Dalam arsip pemberitaan Kompas.com pada 25 Juli 2016, saat itu Wakil Ketua Umum IDI, Daeng Mohammad Faqih mengatakan, seharusnya ketentuan undang-undang tak bertentangan dengan etika profesi.

"Pasal hukuman kebiri jelas itu bertentangan dengan etika kedokteran jika menunjuk kami sebagai eksekutornya. Itu kan tandanya Perppu tersebut bertentangan dengan etika kedokteran," kata Daeng, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

"Kalau ada undang-undang yang bertentangan dengan etika kira-kira yang salah yang mana? Ya undang-undangnya karena kan undang-undang sumber hukumnya dari etika. Apalagi jika kami yang ditunjuk sebagai eksekutornya, ini benar-benar undang-undang yang bertentangan dengan etika," papar dia.

Dihukum kebiri

Diberitakan kompas.com, Muh Aris (20), seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9 anak.

Ia melakukan aksinya sejak tahun 2015 dan baru diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.

Awalnya, Aris "hanya" dikenai hukuman kurungan 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan.

Baca: Cokelat Dipercaya Bantu Kurangi Risiko Depresi, Benarkah?

Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengungkapkan, jaksa sebenarnya tidak menyertakan hukuman kebiri dalam tuntutan.

Munculnya hukuman kebiri merupakan pertimbangan dan keputusan para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto.

Baca: Daun Bawang Bukan Sekadar Memperkaya Rasa Masakan, Tapi Punya Manfaat Kesehatan

Nugroho Wisnu mengungkapkan, putusan pidana 12 tahun kurungan dan kebiri kimia terhadap Aris sudah inkrah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya.

Baca: Eva Celia Jadi Vegetarian, Apa Manfaat Kesehatan yang Diperolehnya?

Vonis hukuman pidana bagi predator anak itu tertuang dalam Putusan PT Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY, tertanggal 18 Juli 2019. Putusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.

"Putusannya sudah inkrah. Kami segera melakukan eksekusi," kata Nugroho Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini