News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dorong Peningkatan Konsumsi Protein Hewani untuk Turunkan Prevalensi Stunting

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

(Kiri-kanan).Ahmad Syafiq, PhD - Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKMUI, Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Prof. Dr. dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K), Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kondisi stunting akan berdampak serius bagi kesehatan anak baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Dampak jangka pendek meliputi perkembangan tubuh anak yang terhambat, performa anak yang menurun di sekolah, peningkatan angka kesakitan dan risiko kematian.

Sedangkan untuk dampak jangka panjang dari stunting yaitu obesitas, peningkatan risiko penyakit tidak menular, bentuk tubuh pendek saat dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang3.

Prof Dr dr Damayanti R Sjarif, Sp.A(K), Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM mengatakan, stunting hanya bisa teratasi selama periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun dan masa dimana otak anak berkembang pesat.

ASI Eksklusif penting diberikan selama 6 bulan pertama dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun.

"Pada tahap pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI), orang tua harus memperhatikan pola asupan gizi yang seimbang, terutama untuk memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi dan protein hewani,” katanya saat seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) di Jakarta belum lama ini.

GUB merupakan upaya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peran gizi dalam penanganan stunting.

Seminar GUB telah dilaksanakan dari tahun 2012, dan tahun ini mengangkat tema “Kontribusi dan Keterlibatan Stakeholders dalam Penurunan Stunting”untuk mendorong terciptanya kerjasama lintas sektor dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting melalui intervensi gizi spesifik.

Baca: Cegah Stunting pada Anak, Ini Asupan Makanan yang Disarankan

Prof. Damayanti Bersama Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengembangkan pilot project Aksi Cegah Stunting di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Hasil inisiatif tersebut menunjukkan penurunan prevalensi stunting sebesar 8,4% dalam 6 (enam) bulan dari 41,5% menjadi 33,1% atau mencapai 4,3 kali lipat dari target tahunan WHO.

Dalam pilot project ini, pendekatan intervensi gizi spesifik dilakukan dalam beberapa fokus termasuk; melakukan training kepada tenaga kesehatan dan kader posyandu, mengembangkan sistem rujukan berjenjang untuk balita stunting dan beresiko stunting, dan implementasi tata laksana stunting oleh Dokter Spesialis Anak dengan pengawasan yang dibantu oleh Dokter Puskesmas, Tenaga Gizi Puskesmas dan Bidan Desa.

Dalam pencegahan stunting, pemantauan status gizi dan antopometri anak perlu dilakukan secara berkala.

Deteksi dini status gizi balita dilakukan secara berjenjang mulai dari Posyandu, Puskesmas hingga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Jika di Posyandu ditemukan anak dengan Berat Badan atau Tinggi Badan < -2 SD, maka perlu dirujuk ke Puskesmas.

Jika di Puskesmas didapati penyakit penyerta lain atau growth faltering maupun gizi buruk, maka anak akan di rujuk ke RSUD untuk mendapatkan diagnosis medis dari Dokter Spesialis Anak.

"Bahkan pada beberapa kondisi medis tertentu,apabila diperlukan, pasien akan disertai dengan preskripsi PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus) untuk membantu mengejar ketertinggalan berat badan dan tinggi badan mereka,” kata Prof Damayanti.

Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) menyatakan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani yaitu telur dan susu karena memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak.

Bertolak belakang dari fakta para ahli tentang pentingnya asupan protein hewani, pada kenyataannya asupan protein hewani pada anak-anak di Indonesia tergolong rendah.

Dalam salah satu studi ditemukan bahwa asupan protein hewani yang rendah ini berkontribusi terhadap tingginya prevalensi stunting.

Baca: Vaginismus: Tubuh saya tidak mengizinkan saya berhubungan seksual

Anak yang tidak mengkonsumsi jenis protein hewani apapun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang mengonsumsi tiga jenis protein hewani yaitu telur, daging, dan susu.

Dibandingkan makanan sumber protein hewani lainnya, susu adalah yang paling erat hubungannya dengan angka stunting yang rendah karenakonsentrasi plasma insulin-like growth factor (IGF-I) dan IGF-I/IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun secara positif berkaitan dengan panjang badan dan asupan susunya.

Sayangnya, di Indonesia usia pemberian susu tergolong terlambat karena banyak setelah anak berusia lebih dari 1 tahun. Kondisi ini meningkatkan risiko stunting sebanyak 4 kali pada anak usia 2 tahun.

Ahmad Syafiq, PhD, Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKMUI menyatakan, diperlukan analisis dan pendekatan gizi kesehatan masyarakat untuk dapat secara efektif merancang program yang berbasis evidens dan berfokus pada pencegahan.

"Terobosan pencegahan stunting juga perlu melibatkan seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) dan memberdayakan masyarakat agar semua pihak mampu terlibat secara aktif dalam upaya penurunan stunting,” katanya.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang diwakili oleh Dr. Entos Zainaldalam pidato pembukaannya menguraikan fokus Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 akan menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk di bidang kesehatan.

“Stunting mengakibatkan kerugian negara setara 4 Triliyun per tahun atau sebesar 3% dari PDB,sehingga percepatan penangangan stuntingtetap menjadisalah agenda besar pemerintah ke depan," katanya.

Baca: 8 Menu Sarapan Enak di Jepang, Enak dan Bergizi yang Harus Kamu Coba

Untuk mencapai target capaian prevalensi stuntingsebesar 19% di tahun 2024 tentunya bukan tugas yang mudah.

"Perlu  terobosan, inovasi dan kerjasama lintas sektor termasuk kerjasama dengan akademisi dan pihak swasta untuk segera menangani hal ini secara konkrit,” kata Entos. 

Seminar GUB berlangsung selama 2 hari dari tanggal 20-21 September 2019 di Universitas Indonesia.

Kegiatan ini diselenggarakan secara tahunan oleh Departemen Gizi FKMUI dan para alumni. GUB juga mengundang narasumber dari berbagai sektor termasuk pembicara dari sektor peternakan, PUPR, Asosiasi Perusahaan Produsen Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA), komisi perlindungan anak dan asosiasi kebidanan. Selain seminar, dilakukan pula diseminasi hasil penelitian mahasiswa program Sarjana dan Magister program studi Gizi FKMUI sebagai bagian dari rangkaian acara.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini