"Saya sedang hamil empat bulan, kita periksa lagi, akhirnya kami dinyatakan benar positif HIV."
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Itu adalah sepenggal cerita Rizki Annisa Sari, seorang perempuan berusia 33 tahun yang telah 12 tahun hidup dengan human immunodeficiency virus (HIV). Semua berawal ketika perempuan yang akrab disapa Kiki itu sedang mengandung buah cinta pernikahannya dengan seorang laki-laki.
Pada bulan pertama kehamilannya, HIV belum terdeteksi di tubuh Kiki. Ketika itu usianya masih 23 tahun. Saat usia kandungannya memasuki bulan keempat, Kiki kembali menjalani pemeriksaan HIV. Hasilnya Kiki dinyatakan positif terinfeksi HIV oleh dokter.
Virus tersebut dia dapatkan dari suaminya. Sebelum menikah dengan Kiki, pria yang kemudian menjadi mantan suami Kiki tersebut menggunakan narkotika jenis suntik.
Janin yang dikandung Kiki tidak terinfeksi HIV meski Kiki positif. Anak itu kini dapat tumbuh normal dan mendapatkan hak yang sepadan dengan anak lain.
"HIV itu memiliki masa yang disebut windows period, masa di mana HIV belum terdeteksi. Kadang-kadang itu juga disebut HIV palsu karena belum pasti," ujar Kiki kepada Tribun Network ditemui di kantor Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Kiki mengatakan windows period adalah proses HIV masuk ke tubuh manusia. Pada tahap ini, sebelum memengaruhi sel-sel di dalam tubuh, HIV masih berkamuflase dan bersembunyi di balik sel tubuh dalam sel darah putih.
"Itu sebabnya mengapa virus itu belum terdeteksi. Selain itu orang tersebut terkena HIV tanpa gejala. Orang tidak akan pernah sadar kalau ternyata mereka punya HIV," kata Kiki yang terlibat di IPPI sebagai office manager.
Mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan soal total kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan, profesi ibu rumah tangga termasuk profesi yang rentan terinfeksi virus tersebut.
Sepanjang tahun 2019 angka kasusnya telah mencapai 439 kasus. Ibu rumah tangga adalah profesi paling rentan kedua setelah tenaga nonprofesional (karyawan). Kasus HIV terlaporkan tahun 2019 di tenaga nonprofesional mencapai 1.000 kasus.
Sedangkan berdasarkan data jumlah kumulatif kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan pada rentang 1987 hingga 2019, profesi ibu rumah tangga tergolong sangat rentan.
Jumlah kasus HIV pada ibu rumah tangga selama 32 tahun terakhir mencapai 16.844 kasus. Ibu rumah tangga adalah kelompok pekerjaan/status yang tertinggi ketiga setelah tidak diketahui (31.162 kasus) dan tenaga nonprofesional (17.867 kasus).
Kiki membenarkan data tersebut. Dia mengatakan meski mobilitas ibu rumah tangga tergolong kecil, ternyata profesi ini justru rentan terkena HIV. Tanpa bermaksud membela kaum Hawa, Kiki menilai penyebab ibu rumah tangga rentan tertular HIV karena men mobile with money. Apa yang dimaksud Kiki adalah tentang seorang suami yang bekerja di luar kota, pulang ke rumah seminggu atau sebulan sekali dan sang suami punya uang.
"Mereka bisa saja 'jajan' di luar, free sex di luar tanpa sepengetahuan sang istri. Itu termasuk penyebabnya," ujar Kiki.
"Seperti suami saya, mantan suami saya dulu, sejak sebelum menikah, saya tahu dia memakai narkotika suntik dan begitu saya hamil keempat bulan, kami dinyatakan HIV," sambung Kiki.
Faktor lain yang membuat ibu rumah tangga rentan tertular HIV adalah kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Kelompok yang tidak semua anggotanya adalah homoseksual itu cenderung menutup diri soal orientasi seksualnya.
"Akhirnya banyak LSL yang menikahi perempuan untuk menyembunyikan status mereka sebagai LSL. Sayangnya, banyak sekali teman-teman LSL yang tidak mau membuka status," kata Kiki.
Itu menjadi penyebab begitu banyak ibu rumah tangga yang terkena HIV. Semua ini terjadi karena kelompok LSL menikah dan belum membuka status mereka ke istri.
"Sayangnya lagi teman-teman LSL ini belum buka status ke istri atau pasangan ternyata dia itu HIV positif atau mereka sendiri juga belum tahu kalau mereka HIV positif," ujar Kiki.
Untuk menanggulangi penyebaran HIV pada ibu rumah tangga, Pusat Penelitian HIV/AIDS Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menjalankan program notifikasi pasangan. Dalam program ini setiap ibu hamil menjalani pemeriksaan HIV. Jika ibu tersebut positif, maka dia harus mengajak pasangannya untuk ikut menjalani tes.
Namun demikian, hasil pemeriksaan HIV bisa memberatkan ibu rumah tangga. Jika terbukti positif, dia harus berbicara kepada suami mengenai statusnya. Pembicaraan tersebut bisa berakibat merugikan bagi istri. Bisa jadi dia diceraikan, meski orang yang terkena HIV lebih dulu adalah suami.
"Jadi di panduan program itu ada bagaimana si perempuan membuka status HIV ke pasangannya. Kalau tidak dilaksanakan akan dimediasi. Kami juga akan bantu memberikan konseling," ujar Advocacy Officer Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya Iman Abdurrakhman kepada Tribun Network di Jakarta, Jumat (29/11/2019). (Tribun Network/Lusius Genik/Deodatus Pradipto)