TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai membantah argumentasi peneliti Universitas Indonesia bahwa harga rokok murah karena nyatanya lebih mahal dari makanan di warteg.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea Cukai Sunaryo mengatakan, Indonesia menempati urutan ke-129 dalam indeks restoran dunia atau termasuk golongan murah ketimbang Bermuda dan Swiss yang berada di urutan dua teratas.
"Jadi, kalau kita membandingkan restoran antarnegara, nomor satu Bermuda, nomor 2 Swiss. Memang murah daya beli barang-barang di sini, jadi nominal (harga rokok) tidak serta-merta mencerminkan murah karena harga rokok di sini dua kali (harga) makan di warteg," ujarnya dalam webinar, Sabtu (5/9/2020).
Baca: Peneliti UI Sebut Orang Tua Perokok Bikin Anaknya Stunting
Baca: Peneliti UI: Harga Rokok Sekarang Kurang Mahal, Anak-anak Masih Bisa Membeli
Lebih rinci lagi, dia mencontohkan harga rokok putih paling favorit di Jepang sebesar 502 yen atau sekira Rp 66 ribu dan harga makanan 'warteg' di Jepang kisaran Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu dalam rupiah.
"Kalau makan di restoran pinggir jalan di Jepang Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu atau separuh harga rokok. Sekarang bandingkan dengan kita, harga rokok Rp 20 ribu, makan di warteg sekira Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu," kata Sunaryo.
Menurutnya, perbandingan harga rokok haruslah seimbang dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat di tiap negara.
Jangan juga menyamakan dengan Australia yang harga rokoknya sudah setara Rp 400 ribu per bungkus karena proses itu berlangsung selama 40 tahun.
"Kalau apple to apple mempertimbangkan daya beli, tidak serta merta rokok di kita dianggap murah. Kita berharap segala bentuk penelitian haruslah memiliki solusi dengan berdasarkan data, ini harus solutif, kita harus buka semua data, kami benar-benar di Kemenkeu dalam rangka mencari solusi," pungkas Sunaryo.