TRIBUNNEWS.COM - Makanan bagi bayi dan anak-anak menjadi masalah penting yang perlu diperhatikan lebih pada segala situasi bencana.
Tidak hanya diare, makanan yang tidak adekuat saat kondisi bencana menjadi penyumbang meningkatnya angka kekurangan gizi pada anak.
Hal tersebut dapat dilihat dari contoh balita penyintas bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2018 di Kelurahan Buluri, Kota Palu, Provinsi Sulawasi Tengah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasrul, dkk, jumlah balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang masing-masing bertambah 1 orang atau dengan presentase pertambahan sebanyak 11,7%.
Lalu bagaimana gambaran pemberian makan bayi dan anak (PMBA) di kondisi bencana? Mengapa menimbulkan berbagai masalah kesehatan pada bayi dan anak? Salah satu gambaran yang dapat dilihat adalah dari kondisi pengungsian di Kabupaten Karangasem pasca letusan Erupsi Gunung Agung pada 2017 lalu.
Subratha melakuan penelitian kualitatif bagaimana balita di tempat pengungsian tersebut memperoleh asupan gizinya dan hasilnya terdapat tiga tema besar yang mendasarinya pertama pola pemberian ASI, pola pemberian makanan, dan permasalahan pemberian makanan yang terjadi.
Ibu-ibu di tempat pengungsian tersebut merasakan berbagai hambatan menyusui karena stress, panik, dan takut sehingga menjadi tidak percaya diri untuk menyusui. Beranjak pada masalah makan, balita di pengungsian mengalami penurunan nafsu makan, menjadi malas makan, dan ibu-ibu merasa variasi makan yang monoton turut menjadi penyebab anak tidak mau makan.
Masalah lain ditemukan saat pada proses pemberian makan pada balita yaitu makanan pada anak-anak tidak dibedakan dengan makanan pada orang tuanya seperti bumbu yang terlalu tajam dan pedas.
Orang tua pun tidak mempunyai pilihan lain untuk memberikan makan pada anaknya dikarenakan harta yang telah hilang dan lahan pertanian sebagai pekerjaan mereka pun sudah hilang. Akibatnya, balita-balita tersebut terpaksa makan seadanya.
Kondisi-kondisi memprihatinkan untuk bayi dan anak di situasi tersebut dapat diatasi oleh pengelolaan dapur PMBA pada situasi bencana.
Dapur PMBA tidaklah serumit yang dibayangkan, tidak membutuhkan kemampuan khusus untuk memasak, bahkan bisa menjadi satu dengan dapur umum. Hanya saja, yang perlu dipersiapkan adalah orang-orang atau aktivis kemanusiaan yang terjun mampu memberikan tekstur sesuai dengan usianya, menyediakan jumlah makanan sesuai usia, serta memahami variasi kebutuhan makanan bayi dan anak.
Oleh sebab itu, melatih aktivis kemanusiaan untuk mampu mengelola dapur PMBA menjadi hal sangat penting yang perlu dilakukan supaya kebutuhan gizi bayi dan anak tetap tercukupi dengan baik.
Kegiatan pengabdian masyarakat yang digawangi oleh Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia bekerja sama dengan BSM Umat, Kidzsmile Foundation dan Gema Indonesia Menyusui mengusung tema Pelatihan Pengelolaan Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) pada situasi bencana.
Kegiatan yang dilakukan dimulai dengan pelatihan bagi aktivis kemanusiaan sebanyak 50 orang mengikuti sesi daring yang diadakan 2-4 November 2020 dan 21 orang mengikuti sesi luring pada 7-9 November 2020. Pada sesi daring peserta dipaparkan pentingnya pemberian makan bayi dan anak (PMBA) pada situasi bencana sebagai kelompok rentan yang sangat membutuhkan perhatian.