TRIBUNNEWS,COM - SURABAYA, Pemerintah Indonesia gencar menjalankan program vaksinasi Covid-19 terhadap sekitar 182 juta warga Negara Indonesia untuk memenuhi kriteria kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap virus Covid-19, yang ditargetkan rampung Desember 2021.
Dalam memenuhi kebutuhan vaksin tersebut, pemerintah mengandalkan pasokan vaksin yang telah dibeli dari tujuh perusahaan di luar negeri.
Di antaranya Vaksin Sinovac, Vaksin PT Bio Farma, Vaksin Novavax, Vaksin Oxford-AstraZeneca, Vaksin Pfizer-BioNTech, Vaksin Moderna, Vaksin Sinopharm.
Di tengah berlangsungnya proses vaksinasi tersebut, sejumlah ilmuwan perguruan tinggi dan peneliti lembaga kajian ilmiah Indonesia juga mengembangkan sebuah vaksin karya anak bangsa bernama vaksin Merah Putih.
Kabar mengenai adanya vaksin Merah Putih itu sejatinya telah beredar sejak awal pandemi Covid-19 memasuki Indonesia, awal 2020.
Koordinator Riset Produk Covid-19 dan Anggota Tim Riset Vaksin Merah Putih Universitas Airlangga (Unair), Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih mengungkapkan, rencana awal membuat vaksin Merah Putih muncul bersamaan dengan adanya kasus pertama Covid-19 yang ditangani oleh sejumlah fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), yakni rumah sakit (RS) yang menjadi rujukan penanganan pasien Covid-19 di Jatim.
Baca juga: Vaksin Merah Putih Tetap Masuk Program Pemerintah, Kini Diuji Coba ke Hewan Besar
Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek-RI), melalui Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) memutuskan untuk membentuk adanya konsorsium vaksin Merah Putih.
Di dalamnya terdapat dua lembaga penelitian yakni Lembaga Eijkman, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kemudian empat universitas terkemuka, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair).
“Jadi kata merah putih, karena bendera kita Merah Putih. Jadi kalau konsorsium vaksin Merah Putih berarti ini untuk kebutuhan kepentingan dan tentu masyarakat Indonesia khususnya,” ujar Guru Besar Kimia Organik Fakultas Sains dan Teknologi Unair itu, Kamis beberapa waltu lalu.
Selain itu juga adanya semangat moralitas sebagai warga Negara Indonesia. Pemilihan diksi Merah Putih sebagai identitas vaksin Covid-19 buatan ilmuwan dan peneliti Indonesia, juga didasari atas semangat ilmiah yang berorientasi pada kesesuaian genetika meterial virus Covid-19 yang menginfeksi tubuh warga Indonesia, khususnya di Kota Surabaya, Jatim.
Apalagi, sejak 1996 Unair sudah memiliki laboratorium dan lembaga riset khusus untuk penyakit tropis bernama Lembaga Penyakit Tropis (LPT) Unair.
Lembaga tersebut berdampingan dengan RS Unair yang juga menjadi rujukan penanganan pasien Covid-19. Sehingga, tak sulit bagi anggota tim peneliti melakukan analisis virus terhadap genetika material virus. Karena bahannya sangat mudah diperoleh.
Prof Ni Nyoman Tri menerangkan, pihaknya melakukan analisis Whole Genome Sequence (WGC) terhadap genetik material Covid-19 sekitar 30.000 pasang basal.
“Itu kami simpan satu per satu. Jadi semua panjang 30.000 pasang basal itu sudah dilakukan oleh LPT Unair dan disumbangkan juga, di submit ke data internasional,” tutur Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Community Development Unair itu.
Proses riset vaksin Merah Putih yang telah dimulai sejak Maret 2020, melalui tiga metode penelitian yang dilakukan secara paralel. Yakni, metode inactivated (memperoleh vaksin dari virus utuh yang dikondisikan secara klasikal untuk mati), kedua metode viral vector dan ketiga metode peptide.
Proses riset sempat mengalami penundaan karena bahan pembuatan virus yang akan diteliti harus diperoleh melalui sistem pemesanan yang baru dilakukan Bulan April. Lalu proses riset kembali dilakukan setelah bahan pembuatan virus tersebut telah tiba sekitar Mei, Juni, dan Juli.
“Sebetulnya kalau semua bahan itu cepat datangnya bisa jadi proses juga akan bisa lebih cepat ya untuk masuk ke uji preklinik. Jadi inisiasi awal,” terangnya.
Terus dikebut
Vaksin Covid-19 yang bakal menjadi produk kesehatan masyarakat karya ilmuwan dan peneliti Indonesia itu sedang memasuki tahap uji preklinik.
Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih mengungkapkan vaksin tesebut sedang diuji coba kepada hewan berukuran kecil, yakni tikus (mice).
Tahapan uji coba suntikan ke-1 telah dimulai sejak Jumat (9/4). Kemudian Jumat (23/4), uji coba suntikan ke-2 juga telah dilakukan.
Setelah nanti menunjukkan hasil yang signifikan, vaksin akan dilakukan tahap Uji Tantang (challenging test). Sebelum akhirnya vaksin tersebut diuji coba kepada hewan besar, seperti monyet.
Selama berlangsung proses tahapan uji preklinik hingga uji klinis tersebut, tim riset akan didampingi pula oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM-RI).
Tujuannya, agar segala tahapan prosedur riset langsung dapat dipastikan mutu kualitasnya. Sehingga aklan lebih efisien dari segi waktu dalam proses pengujian kelaikan efikasi vaksin nantinya.
“Jadi jangan dokumentasi kita ini ada isian atau gate yang belum terpenuhi. Kalau kembali lagi itu biaya mahal. Ya, karena hewan coba mice ini pun kami impor,” ujarnya.
Tahapan riset tersebut sejatinya akan dilakukan saat memasuki dua fase pertama sebelum produk vaksin atau obat tersebut diproduksi massal.
Yakni fase pertama, Laboratorium Scale yang lazim dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset. Fase kedua, Skala Pilot, untuk menghitung dosis. Fase ketiga, Skala Industri.
“Di sinilah nanti akan ada lisensi untuk izin edar dari BPOM. Total semua itu rata-rata dari preklinik sampai uji klinis itu adalah 1 tahun,” jelasnya.
Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Community Development Unair itu menerangkan, dibutuhkan waktu sekitar setahun agar vaksin Merah Putih dapat dirasakan kemanfaatannya untuk memberi kekebalan tubuh warga Indonesia terhadap Covid-19.
Proses uji preklinis bisa memakan waktu sekitar 3-4 bulan. Setelah rampung, akan melewati proses uji klinis dengan tiga tahap, dan diprediksi memakan waktu delapan bulan.
Prof Ni Nyoman Tri mengaku optimistis tenggat waktu yang telah dikalkulasikan dalam proposal penelitian tersebut bisa sesuai jadwal. Mengingat pihaknya telah menyiapkan tim khusus untuk menjalankan proses tiga kali tahapan uji klinis.
“Sehingga teman-teman yang akan menyiapkan uji klinis itu para teman-teman yang pakar tentunya, adalah mereka medical dokter pastinya tenaga medis yang memang dokter spesialis pakar vaksin vaksinasi, sekarang mereka ini mulai menyiapkan timnya gitu,” jelasnya.
Jika tak ada aral rintangan yang mengadang, proses uji klinis tiga tahap vaksin Merah Putih itu akan dilakukan dengan pihak RS Unair dan RSUD Dr Soetomo.
Demi menyukseskan vaksin Merah Putih melewati tahap uji klinis, dibutuhkan sekitar 5.390 orang sebagai subjek.
Mengingat begitu banyaknya jumlah orang yang terlibat nantinya. Prof Ni Nyoman Tri mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak Kemenristek-RI ikhwal pendanaan proses pelaksanaan uji klinis nantinya.
“Fase ke-3 itu tadinya 3.000 subjek. Namun BPOM itu minimal di fase ke-3 itu adalah 5.000 subjek. Kemarin saat koordinasi dengan Kemenristek itu disampaikan juga untuk terkait pembiayaan,” pungkasnya.
Sementara itu dua rumah sakit di Surabaya yang akan melakukan uji klinis vaksin Merah Putih, RSUD Dr Soetomo dan Rumah Sakit Universitas Airlangga telah melakukan sejumlah persiapan untuk mendukung kegiatan tersebut.
Direktur Utama RS Unair Prof Dr dr Nasronudin menyatakan, pihaknya siap menyukseskan rencana uji klinis vaksin. Sambil menunggu waktu yang tepat saat diperlukan pada uji sesuai tahapan sebelumnya, pihaknya juga menyiapkan beberapa hal.
“Kami menyiapkan sumber daya manusia peneliti uji klinis fase berikutnya sambil menunggu tahapan fase fase uji yang harus dilalui,” ujarnya, Selasa 18 April lalu.
Kemudian, lanjut Nasronudin, menyiapkan protokol uji klinis, merancang kriteria relawan, kriteria inklusi dan eksklusi, menyiapkan prosedur uji klinis vaksin. Termasuk mengantisipasi efek samping yang berpotensi muncul pada umumnya.
“Mudah-mudahan semua proses dimudahkan Allah SWT dan semuanya berjalan lancar,” tandasnya.(pam/bri/tribunnetwork/cep)