Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hemofilia merupakan gangguan sistem pembekuan darah. Akibatnya apabila seseorang mengalami luka, maka perdarahannya bisa berlangsung lebih lama.
Data menunjukkan penyakit Hemofilia mengalami peningkatan cukup signifikan pada tahun 2020. Setidaknya terdiagnosis 2700 orang saat ini.
Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis anak, sekaligus anggota Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Dr dr Novie Amelia Chozie Sp A (K).
Menurutnya, jika berdasarkan data statistik dengan jumlah total populasi Indonesia, diperkirakan ada 28 ribu pasien Hemofilia di luar sana.
Baca juga: Mengenal Hemofilia dan Dampak Berbahaya Bagi Tubuh
Dapat dikatakan, ada 10 persen dari pasien yang belum terdiagnosis, sehingga diperlukan peran masyarakat yang sadar dan paham terkait ini.
Di sisi lain, pemeriksaan diagnosis masih perlu ditingkatkan.
Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan. Sehingga distribusi informasi tidak begitu merata. Dengan akses terbatas ke daerah tertentu dan terpencil, pemeriksaan belum bisa dilakukan.
"Begitu juga distribusi obat, ketersediaan dokter dan rumah sakit yang mampu menampung pasien belum merata," ungkapnya pada webinar, Selasa (26/4/2022).
Kabar baiknya, saat ini penanganan Hemofilia bisa dicover oleh BJPS, walau dengan tarif terbatas. Seharusnya, standar pengobatan hemofilia adalah mencegah terjadinya sebelum terjadi pendarahan.
Namun pelayanan baru mengcover saat terjadinya pendarahan. Di sisi lain ia menyampaikan jika pada bagian Indonesia bagian Timur seperti Maluku, Papua, NTT masih belum memiliki fasilitas kesehatan Hemofilia.
"Kita harapkan berubah tentunya, bertambah di masa datang. Hemofilia termasuk 10 besar penyakit berbiaya paling tinggi. Karena seumur hidup dan harga obatnya masih mahal, inilah menjadi beban biaya kesehatan," paparnya lagi.
Di Asia tenggara, posisi Indonesia dalam penanganan Hemofilia berada pada posisi keempat dari bawah. Urutan pertama adalah Singapura, diikuti oleh Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Sebagai informasi, terapi ondimen pasien per berat badan 25 kilogram adalah sekitar 9 juta per episdoe. Dan jika dihitung selama setahun maka mengeluarkan biaya pengobatan 250 juta pertahun
"Belum biaya lain seperti tata laksana kalau sudah terjadi kerusakan sendi, terjadi disabilitas dan perlu operasi. Setidaknya memerlukan milyaran per satu kali operasi. Karenanya ini harus dicegah biar tidak terjadi," tegas dr Novie.
Selain itu, saat ini Indonesia telah memiliki Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Hemofilia. Ia pun berharap semoga PNPK ini dapat diikuti oleh rumah sakit di Indonesia.