Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyakit alzheimer masih disalahpahami oleh masyarakat.
Misalnya, masih memaklumi gangguan ingatan atau pikun yang merupakan salah satu gejala dari alzheimer.
Penyakit Alzheimer dikenal sebagai penyakit yang mengakibatkan penurunan kinerja otak atau demensia.
Penyakit neurologis progresif ini bisa menyebabkan otak menyusut (atrofi) dan sel-sel otak mati.
Di tahap awal, Alzheimer ditandai dengan gejala kehilangan memori ringan.
Baca juga: Tak Hanya Lansia, Mereka yang Muda Bisa Kena Alzheimer, Ini Faktor Risikonya
Sedangkan, pada akhir ditandai dengan hilangnya kemampuan penderita untuk melakukan percakapan hingga merespons lingkungan mereka.
Menurut Guru Besar Bidang Neurologi FKIK Atma Jaya dan Pembina Alzheimer Indonesia Yuda Turana, pandangan ini juga sering ditemui saat penyakit Alzheimer ditemukan pada orangtua.
Pandangan ini membuat sebagian dari mereka yang mengalami penyakit Alzheimer tidak melakukan upaya apa-apa. Ada anggapan kalau sudah kena tidak bisa diapa-apakan lagi.
"Itu mungkin beberapa pemahaman tertentu yang akan menghambat untuk deteksi dini," kata dr Agus.
Karena, di awal sudah menunjukkan gejala pelupa atau pikun tetap tidak diindahkan, tidak melakukan konsultasi atau berkonsultasi pada tenaga kesehatan. Kalau pun kondisinya sudah berat, juga dibiarkan saja.
"Di awal dianggap tidak apa-apa. Kalau berat sudah tidak produktif juga. Stigma tersebut berbahaya untuk menghindari deteksi dini," tegasnya.
Stigma lain yang kerap ditemui adalah saat mengonsumsi obat. Pengobatan penyakit Alzheimer sebenarnya beragam.
Namun ada yang memerlukan pendampingan obat dalam jangka panjang atau seumur hidup.
"Nah, seringkali masyarakat kita menganggap obat yang diberikan dapat mengganggu kesehatan ginjal, hingga kecanduan," kata dr Agus lagi.
Padahal mengonsumsi obat merupakan kebutuhan. Karena kalau tidak minum obat bisa berakibat fatal yaitu berujung demensia atau yang paling parah adalah kematian.