Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Ada 256 orang yang berasal dari rentang usia 10 hingga 20 tahun yang memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka karena masalah kesehatan mental pada tahun lalu.
Menurut data polisi yang diberikan oleh politisi Oh Young-hwan dari oposisi utama Partai Demokrat negara itu, dari total 13.205 kematian akibat bunuh diri pada 2021, sekitar 5.258 diantaranya memiliki riwayat perawatan kesehatan mental.
Data yang sama menunjukkan bahwa jumlah kasus bunuh diri pada kelompok usia 10 hingga 29 tahun melonjak setiap tahun sejak 2019 lalu, dengan angka terakhir menandai angka 888 kasus pada 2021.
Angka tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda di Korea Selatan (Korsel) yang menderita penyakit mental, dengan hasil yang semakin fatal.
Baca juga: Anak Rentan Alami Gangguan Mental, Ternyata Ini Penyebabnya
Dikutip dari laman www.koreaherald.com, Jumat (28/10/2022), menurut data statistik negara itu, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor 1 diantara orang-orang yang berusia di bawah 30 tahun pada 2021.
Media setempat lebih banyak berbicara tentang gangguan panik dan depresi, terutama terkait dengan meningkatnya selebriti yang menderita gangguan kesadaran terhadap bahaya masalah mental.
Stigmatisasi terhadap penyakit semacam itu pun masih ada pada tingkat tertentu dalam masyarakat Korea, menyebabkan orang kehilangan momentum untuk menjalani pengobatan.
Banyak yang alami gangguan panik dan depresi
Aktor Lee Byung-hun baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia menderita gangguan panik di masa lalu.
Beberapa tahun lalu, bintang K-pop Kang Daniel memutuskan berhenti dari karirnya saat dirinya berada di puncak popularitasnya, ini karena ia mengalami gangguan panik dan depresi.
Daniel kemudian mengatakan bahwa ia merasa 'kehilangan semua keinginan untuk hidup'.
Prevalensi gangguan panik atau depresi di Korsel terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Layanan Peninjauan & Penilaian Asuransi Kesehatan, jumlah orang yang dirawat karena depresi melonjak 35,1 persen dari 691.164 pada 2017, menjadi 933.481 pada 2021.
Selama periode yang sama, jumlah yang dirawat karena gangguan panik meningkat dari 653.694 menjadi 865.108.
Data menunjukkan peningkatan pesat di kalangan anak muda Korea.
Depresi naik 127,1 persen, meningkat diantara usia 20-an, 90,2 persen untuk remaja, dan 67,3 persen untuk mereka yang berusia 30-an.
Sementara jumlah mereka yang dirawat karena gangguan panik meningkat 86,7 persen untuk mereka yang berusia 20-an dan 78,5 persen di kalangan remaja.
Salah satu masalah gangguan jiwa adalah 'sering muncul secara bersamaan' dan ini bisa membuat kondisi pasien semakin parah.
Asisten Profesor Psikiatri di Konkuk University Medical Center, Jeon Hong-jun menemukan dalam studinya pada 2020 bahwa bukan hanya pasien gangguan panik saja yang lebih mungkin menderita agorafobia, karena memiliki kedua penyakit tersebut cenderung meningkatkan penderitaan pasien.
"Temuan ini menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan panik disertau agorafobia (PDA) mengalami gejala panik yang lebih parah, komorbiditas psikiatris yang lebih dalam, dan perkembangan penyakit yang lebih buruk dibandingkan mereka dengan gangguan panik tanpa agorafobia (PD)," kata Jeon.
Pasien PDA juga lebih mungkin untuk menjadi lebih muda pada usia onset, mengambil benzodiazepin untuk waktu yang lebih lama, dan diobati dengan antipsikotik.
Stigmatisasi sosial dan keengganan untuk menjalani pengobatan
Terlepas dari lonjakan perawatan kesehatan mental di Korsel, banyak masyarakatnya yang masih ragu untuk mencari bantuan.
Mereka takut dirawat, karena penyakit mental dianggap meninggalkan noda pada reputasi seseorang.
Profesor Psikologi di Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul, Park Jee-eun baru-baru ini mengumumkan hasil penelitiannya tentang 'mengapa orang menghindari bantuan untuk mengatasi penyakit mental', melalui analisis terhadap 6 juta pesan media sosial yang dibagikan dari tahun 2016 hingga 2019.
Ia mengatakan bahwa sebanyak 25,9 persen remaja menghindari pergi ke psikiater karena takut akan mempengaruhi proses mereka masuk ke perguruan tinggi, sementara 14,4 persen takut terlihat seperti 'orang gila'.
Sekitar 22,4 persen dari mereka yang berusia 20-an merasa khawatir tentang catatan medis yang dilihat oleh calon atasan mereka kelak.
Di antara mereka yang berusia 30-an dan 40-an, 22,1 persen mengaku khawatir catatan medis mereka akan berdampak negatif pada polis asuransi, sementara 14,8 persen takut dicap gila.
Mereka memiliki alasan untuk menunjukkan kekhawatiran mereka
Pada Agustus lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Korea merekomendasikan dua perusahaan asuransi lokal untuk mengizinkan pasien yang dirawat karena gangguan depresi untuk membeli program asuransi mereka.
Profesor Park menunjukkan bahwa kurangnya informasi yang dapat diakses publik tentang pengobatan, merupakan alasan dibalik sikap ragu-ragunya masyarakat untuk mencari bantuan psikologis.
"Para ahli (di bidang kesehatan mental) harus mendekati masyarakat dan melakukan upaya untuk menyebarkan informasi yang relevan, dari sudut pandang publik," kata Profesor Park.
'Awareness, Attitude and Impact of Perceived Depression in the Workplace in Korea' oleh Korean Neuropsychiatric Association menunjukkan bahwa terdapat persepsi negatif terhadap perawatan penyakit mental di kalangan pekerja di Korsel.
Hanya 31 persen dari mereka yang didiagnosis depresi 'mau mengambil cuti', sementara 34 persen diantara mereka tidak memberitahu atasan atau rekan kerja mereka terkait penyakit yang mereka derita.
Para peneliti pun bertanya kepada responden yang terdiri dari 1.000 orang Korea berusia 16 hingga 64 tahun yang bekerja, terkait 'apa yang akan mereka lakukan jika mengetahui rekan mereka menderita depresi'.
Jawaban utama mereka adalah bahwa 30,2 persen diantara mereka akan menghindari percakapan semacam itu.
Ini menunjukkan bahwa berbicara tentang penyakit mental adalah masalah yang sensitif bagi kedua belah pihak.
"Untuk mencegah penurunan produktivitas akibat kehadiran di tempat kerja, harus ada program yang memadai untuk mendeteksi depresi pada tahap awal, bersamaan dengan sistem yang tepat untuk meminta bantuan dan mendukung pasien," kata para peneliti.