Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Siapa yang tak mengenal antibiotik. Obat ini seringkali diresepkan oleh dokter saat tubuh diserang oleh infeksi bakteri.
Namun, perlu diingat penggunaan antibiotik haruslah sesuai anjuran dokter, tak boleh sembarangan, apalagi digunakan dalam jangka waktu lama.
Mengapa demikian? Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (PRAINDO) Dr. Harry Parathon, Sp.OG (K), mengatakan, akan terjadi Resistansi antimikroba (AMR), dimana bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian.
Secara global, gerakan pengendalian AMR sudah berjalan, salah satunya dengan usaha penerapan Antimirobial Stewardship (AMS).
Baca juga: Wamenkes Sebut Resistensi Antibiotik Bisa Berpotensi Jadi Pandemi
AMS menjadi strategi untuk memerangi peningkatan AMR dengan berfokus pada penggunaan antimikroba yang tepat guna oleh professional kesehatan dengan mengikuti aturan dan pedoman yang sudah ditetapkan.
AMS menjadi penting di semua area perawatan kesehatan termasuk area spesialis manajemen luka.
Ia menambahkan, salah satu area yang saat ini masih memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka.
AMR mempengaruhi prosedur manajemen luka karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memungkinkan masuknya mikroba, termasuk yang resistan antimikroba ke dalam jaringan.
"Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resistan antibiotik lebih sulit untuk diobati dan menyebabkan biaya pengobatan yang lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, dan meningkatkan kematian," kata dia dalam media briefing, Selasa (29/11/2022).
Ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan infeksi mudah terjadi, antara lain kadar gula tinggi, usia lanjut, ibu hamil, diabetes, obesitas, HIV, penderita kanker, dan perokok.
Dengan mengendalikan mikroba, infeksi dapat dicegah dan dengan demikian mengurangi kebutuhan akan antibiotik Sekitar 70 persen bakteri penyebab infeksi pada luka, resistan terhadap sedikitnya 1 jenis antibiotik yang umum digunakan.
Untuk itu perawatan luka dengan teknologi terkini seperti Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) coated wound dressings efektif mencegah AMR dan mempercepat kesembuhan luka pada pasien.
Marketing Director Essity Joice Simanjuntak, menjelaskan teknologi Sorbact® untuk perawatan luka yang dapat mencegah AMR.
Berbeda dengan balutan antimikroba lainnya yang secara aktif membunuh mikroba, balutan luka ini terbuat dari Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) yang bersifat hidrofobik, mengikat beberapa jenis mikroba secara permanen, dan mengurangi jumlah organisme di permukaan luka sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat.
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) menyatakan bahwa AMR adalah salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara berkembang dan dapat menjadi penyebab 10 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2050.
Direktur Komersial Essity Indonesia Gustavo Vega menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terkait bahaya AMR masih rendah. Untuk itu Essity terus mendukung adanya kolaborasi untuk mencegah dan menurunkan AMR.