Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Catatan dari Kementerian Kesehatan, kasus Tuberkolosis pada anak melonjak dua kali lipat jika dibandingkan pada 2021 dengan 2022.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rina Triasih.
"Estimasi kasusnya, TBC anak pada 2021 ada 42.187 sedangkan 2022 ada 88.927 kasus. Ini ada pelonjakan kasus. Menurut saya ini adalah hal harus kita evaluasi," ungkapnya pada media briefing virtual, Kamis (23/3/2023).
Baca juga: Kasus Pasien TBC Didominasi Usia Produktif, Kata Dokter Ini Penyebabnya
Menurut Rina, situasi ini bisa saja disebabkan karena situasi pandemi Covid-19.
Bisa jadi karena selama pandemi, banyak masyarakat yang tinggal di rumah, kemudian pasien tidak banyak berobat.
Dan selama di rumah saja, anggota keluarga dan anak-anak saling menulari.
"Atau bisa jadi, memang ada daya tahan anak semakin rendah, atau hal lainnya. Ini yang mesti kita evaluasi," paparnya lagi.
Lebih lanjut, dr Rina Tiasih menjelaskan kondisi Treatment Coverage (TC) kasus TBC anak di Indonesia.
Baca juga: 25 Persen Kematian Orang dengan HIV/AIDS Dipicu Penyakit TBC
TC adalah jumlah kasus TB yang diobati dan dilaporkan pada tahun tertentu dibagi dengan perkiraan jumlah insiden kasus TB pada tahun yang sama dan dinyatakan dalam persentase.
"Harusnya target (TC) 90 persen di tingkat nasional. Tetapi baru 12 provinsi yang bisa mencapai 90 persen. Ini adalah permasalahan tidak hanya di Indonesia, tapi di tingkat global terkait under diagnosis," paparnya.
Saat ini, menurutnya masih banyak anak-anak yang sebenarnya alami TBC, tapi masih belum terdiagnosis.
Namun, masalah over diagnosis juga ada di Indonesia.
Dan memang, kata dr Rina, mendiagnosis TBC tidak lah mudah dan membutuhkan komunikasi langsung dengan pasien.