Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini masih banyak orang yang menderita penyakit kanker di dunia ini termasuk di Indonesia, satu di antara jenis kanker yang turut disoroti adalah kanker usus besar.
Kanker yang disebut pula sebagai kanker kolorektal ini menggambarkan adanya keganasan pada polip yang menyerang jaringan usus besar atau kolon dan bagian usus paling bawah sampai anus atau rektum.
Menariknya, gejala kanker usus bisa saja berbeda pada setiap orang, bahkan penyakit ini kerap 'tidak langsung' menimbulkan gejala seketika, sehingga banyak kasus yang terdeteksi justru saat kanker ini telah menyebar.
Akibatnya, tingkat kematian karena jenis kanker satu ini pun terbilang cukup tinggi.
Berdasarkan data Globocan pada 2020, kanker usus secara global berada di urutan nomor dua jenis kanker penyebab kematian terbesar, dengan jumlah kasus mencapai 915.880.
Meski menjadi salah satu kanker dengan kasus tertinggi di dunia termasuk di Indonesia, namun kanker usus besar tidak banyak dibahas sehingga menyebabkan munculnya kesalahpahaman umum mengenai kanker kolorektal ini.
Dokter Ahli Onkologi Medis Parkway Cancer Centre Singapura, Dr Wong Siew Wei pun menyampaikan sejumlah fakta mengenai kanker kolorektal.
1. Kanker Kolorektal tak hanya menyerang pria
Baca juga: Bahaya, Pergeseran Pola Makan Sebabkan Penyakit Jantung hingga Kanker Usus Besar
Dikutip dari Kementerian Kesehatan, menurut Globocan 2020, kanker kolorektal menduduki kasus tertinggi keempat di Indonesia dengan total pasien secara keseluruhan mencapai 34.189 atau 8,6 persen.
Kanker kolorektal sebagian besar memang menyerang pria yakni sebesar 21.764 kasus, sekaligus menjadikannya sebagai kasus kanker tertinggi kedua pada pria di Indonesia.
Kendati demikian, kanker ini tidak terbatas hanya menyerang pria saja, namun juga wanita dengan jumlah kasus di Indonesia mencapai 12.425 kasus atau mencapai 5,8 persen.
Bahkan, kanker kolorektal adalah kanker kedua yang paling umum didiagnosa, dan penyebab kematian kanker paling umum kedua pada wanita di Singapura.
2. Risiko kanker kolorektal usia muda kian meningkat
Risiko kanker kolorektal meningkat seiring bertambahnya usia, sehingga faktor usia berpengaruh pada risiko penyakit ini.
Sebagian besar kasus kanker kolorektal di seluruh dunia didiagnosis pada pria dan wanita berusia 50 tahun ke atas.
Namun mirisnya, kanker usus besar saat ini mulai banyak menyerang kelompok usia yang lebih muda.
"Kanker usus besar ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan karena mulai menyerang kelompok usia lebih muda," jelas Dr Wong, dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (17/5/2023).
Dr. Wong mengatakan hal tersebut bisa terjadi seiring dengan faktor gaya hidup yang tidak sehat, stress berlebih, obesitas dan faktor genetik.
Selain itu disebabkan pola oleh konsumsi makanan yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan lemak dengan daging merah, serta merokok dan minum minuman beralkohol sehingga menyebabkan perubahan microbiome pada usus.
"Berdasarkan data di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa satu dari 10 orang yang menderita kanker kolorektal adalah usia muda," jelas Dr Wong.
Secara umum, kanker usus besar dimulai ketika sel-sel sehat di usus besar mengembangkan perubahan atau bermutasi dalam DNA mereka.
Di samping itu terdapat pula beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.
Baca juga: Konsumsi Daging Merah Tingkatkan Risiko Kanker Usus? Ini Penjelasan Dokter
Mulai dari memiliki riwayat mengidap polip usus besar, memiliki riwayat kolitis ulseratif atau borok di lapisan usus besar, hingga memiliki riwayat penyakit Crohn.
3. Kanker kolorektal dapat dicegah dengan deteksi dini
Kanker kolorektal ternyata dapat dicegah melalui deteksi dini berupa skrining kanker secara teratur.
Karena kanker ini biasanya berkembang dari polip prakanker, maka skrining yang tepat dapat membantu mendeteksi dan menghilangkan polip ini sebelum berubah menjadi kanker.
"Deteksi awal penyakit ini menjadi penting karena perkembangan kanker membutuhkan waktu sekitar 10 hingga 15 tahun sehingga perlu dilakukan skrining awal untuk dapat mencegah perkembangannya," tegaa Dr Wong.
Skrining biasanya dilakukan untuk mendeteksi kanker atau kondisi prakanker pada seseorang tanpa gejala.
"Karena kanker kolorektal biasanya tidak menunjukkan gejala pada tahap awal, penting untuk menjalani skrining yang direkomendasikan untuk mendeteksi kanker, baik memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini atau tidak," papar Dr Wong.
4. Waspadai darah dalam tinja
Kanker usus besar memiliki sedikit atau bahkan tidak bergejala, sehingga ketika anda menemukan gejalanya maka perlu melakukan tes darah.
Beberapa gejala itu adalah adanya darah dalam tinja, perubahan kebiasaan buang air besar termasuk sembelit atau diare, ketidaknyamanan pada perut seperti kram gas atau nyeri, perasaan tidak puas setelah buang air besar hingga adanya benjolan pada perut.
"Tes darah yang menunjukkan jumlah sel darah merah yang rendah juga dikenal sebagai anemia juga bisa menjadi tanda peringatan dini kanker kolorektal," tutur Dr Wong.
5. Kanker kolorektal yang terdeteksi awal dapat diobati
Seperti mayoritas penyakit kanker, kanker kolorektal adalah penyakit yang dapat diobati jika terdeteksi sejak dini sebelum memiliki kesempatan untuk menyebar.
Lebih dari 90 persen pasien dengan kanker kolorektal stadium awal, dapat bertahan hidup lima tahun setelah diagnosis.
Mirisnya, hanya sekitar sepertiga dari semua kasus kanker kolorektal yang terdiagnosis pada stadium awal.
Maka menjalani skrining rutin pun dinilai penting karena dapat membantu mendeteksi penyakit ini pada tahap awal, kemudian meningkatkan kemungkinan untuk mengobatinya.
Jenis pengobatan yang direkomendasikan akan tergantung pada beberapa faktor, termasuk stadium kanker serta kesehatan pasien secara keseluruhan.
Pembedahan adalah dasar dari terapi kuratif pada pasien dengan kanker kolorektal stadium awal untuk mengecilkan pertumbuhan, mengurangi penyebaran kanker dan meningkatkan hasil.
Baca juga: Ketum YKI Ingatkan Deteksi Dini untuk Cegah Kanker Usus Besar
Pengobatan tambahan dengan kemoterapi dan radioterapi terkadang diperlukan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
"Meski sudah melakukan terapi dan penanganan awal, tetapi pasien harus terus melakukan terapi lanjutan untuk mencegah terjadinya kasus berulang sekaligus mempertahankan kualitas hidup selama mungkin," pungkas Dr Wong.